terpiu Mr. Takdir Alisjahbana telah menegaskan lagi pendiriannja. Dari interpiu ini kita kutip jang berikut: ,Anggapan, bahwa Pantjasila itu adalah tjampuran beberapa pengertian jang bertentangan, dibuktikan oleh Takdir sebagai berikut: Pada ketika pembitjaraan mengenai undang-undang pendidikan dilakukan di Jogja didalam K.NIP., maka terdjadilah suatu pertentangan jang besar antara P.N.I. dan Masjumi perihal tafsican daripada Pantjasila, berhubung dengan soal peladjaran agama jang diharuskan disekolah rendah. Apakah sebenarnja arti „Ketuhanan jang Maha Esa”, djikalau ditempatkan disamping „Demokrasi” (sila jang keempat)? Djikalau di Indonesia ada sebuah perkumpulan jang tidak mau mengakui adanja Allah — apakah perkumpulan ini mendjadi suatu perkumpulan jang terlarang? Djikalau kita berpegang pada Ketuhanan jang Maha Esa, maka sebetulnja perkumpulan-perkumpulan sematjam ini harus dilarang! Akan tetapi djika kita berpegang pada Demokrasi, maka perkumpulan-perkumpulan sematjam itu diluaskan!” (Diterdjemahkan dari „Nieuwsgier”, 23 Djanuari 1951.)
Saudara-saudara! Daripada perkataan Mr. Takdir Alisjahbana ini kita menarik kesimpulan sebagai berikut:
a) Prinsip pertama daripada Pantjasila tidak dapat berarti, bahwa warganegara Indonesia diharuskan pettjaja akan Allah.
b) Prinsip Ketuhanan jang Maha Esa djuga tidak dapat berarti, bahwa warganegara itu diwadjibkan menggabungkan diri pada sesuatu agama atau menjuruhkan anak-anaknja untuk mengambil bahagian dalam peladjaran agama.
c) Prinsip ini djuga tidak dapat berarti, bahwa negara harus mempunjai suatu kementerian jang chusus untuk hal ini, dan bahwa negara itu diwadjibkan memberi sokongan uang kepada agama-agama satu persatu pada chususnja, atau kepada keagamaan pada umumnja.
Djika seandainja berlainan dengan itu, maka benarlah jang dikatakan oleh Mr. Takdir itu. Sebab sila pertama itu akan bertentangan dengan sila keempat, tetapi djuga dengan sila kedua: Maka ia akan bertentangan dengan hak-hak manusia jang umum dan dengan hak-hak demokrasi, chususnja dengan kebebasan agama. Akan tetapi hal itu bukanlah maksud sila jang pertama itu. Djuga sila ini — djustru sila ini! — tidak boleh dikeluarkan dari perhubungannja dengan
44