kelancangannya menyela kata-kata sang Raja dan bersikap sombong dihadapannya, yaitu kelak, jika ia gagal, ia akan memenggal kepalanya.
Jokotole menerima syarat ini dengan senang. Ayahnya di lain pihak sangat khawatir akan keselamatan anak angkatnya itu. Jika Jokotole gagal, maka Jokotole akan dihukum mati, bahkan mungkin dirinya juga.
Sebenarnya pekerjan pembuatan pintu gerbang itu sudah selesai, tapi ada satu masalah yang membuat proses penyempurnaan terhambat yaitu proses penyambungan plat besi besar yang tidak kunjung selesai. Para empu pandai besi sudah melakukan banyak cara agar besi itu dapat tersambung, tapi karena plat tersebut terlalu besar, penyambungan itu menjadi demikian susah.
Hari pembuktian ucapan Jokotole pun tiba. Pengerjaan penyambungan besi akan dilakukan di alun-alun kerajaan seperti biasanya. Berita akan adanya pemuda belia yang sedang bertaruh nyawa untuk membuat gerbang kerajaan membuat rakyat Majapahit penasaran. Mereka berbondong-bondong menuju ke alun-alun untuk melihat apa yang akan dilakukan dan akan terjadi pada anak belia tersebut. Alun-alun yang semula sepi, kini menjadi ramai. Semua pasang mata perhatiannya tertuju pada Baginda Brawijaya dan si pemuda belia yang tampan bernama Jokotole.
Jokotole memulai pekerjaannya. Ia memerintahkan pekerja yang ada di tempat tersebut untuk membantunya mengumpulkan kayu bakar yang banyak dan disusunnya seperti api unggun raksana. Setelah terkumpul kayu yang banyak, ia mulai menata tumpukan kayuitu dan menyisakan sebuah ruang di tengah tumpukan kayu seukuran tubuhnya untuk tempatnya berdiam. Empu Kelleng dan empu-empu yang lain tentu saja merasa keheranan, karena biasanya, kayu bakar dibakar di tungku perapian, dan bukan dibentuk seperti api unggun seperti yang sedang mereka lihat. Namun ketenangan Jokotole serta kemantapan wajahnya yang menunjukkan keyakinan pada apa yang sedang ia kerjakan membuat keheranan mereka tersebut menjadi hilang. Mereka menunggu apa yang akan dikerjakan Jokotole kemudian.
47