hari lagi aku akan pulang? Apa juga yang dipikirkan, menyusah-nyusah hidup saja."
Maka guru Kasim pun sampailah di sekolah. Tak lama antaranya murid-murid masuk ke dalam kelasnya masing-masing. Ia amat girang mengajar muridnya. Ada-ada saja perbuatannya untuk menyukakan hati anak-anak. Ketika sampai kepada waktu berceritera, guru Kasim menceriterakan suatu ceritera yang sangat menarik hati muridnya.
Baru saja tammat ceritera itu, dan tertawa murid belum lagi habis karena geli hatinya, pintu sekolah diketuk orang . . . . . . seorang besteller masuk mengunjukkan surat telegram. Melihat telegram itu, sekonyong-konyong muka guru Kasim berubah jadi pucat, darahnya berdebar-debar. Ketika membuat tanda tangan dalam surat penerimaan telegram itu, tangannya gemetar, hampir tak dapat digerakkannya. Telegram itu dibukanya, di dalamnya tersebut:
Jamilah berpulang ke rahmatullah
Datukbesar.
Baru saja habis dibacanya, guru Kasim terhenyak ke atas sebuah kursi. Mukanya bertambah pucat, tak ubah sebagai kain putih. Peluh dingin mengalir seluruh tubuhnya, semangatnya rasakan hilang. Kendatipun bagaimana jua ia menahan sedih yang beramuk dalam hatinya, lamun air matanya jatuh bercucuran dengan tak putus-putusnya. Setelah beberapa lamanya dengan hal yang demikian, sambil menghapus air matanya, guru Kasim pergi kepada seorang guru bantu mengatakan, bahwa kepalanya amat sakit, dan dia hendak pulang.
Sampai di rumah ditutupnya pintu kamar, lalu duduk bermenung menyadari untungnya yang malang itu. Maka ia pun berkata sendirinya; "Inilah gerangan takbir mimpiku semalam. Rupanya rendang itu dikirimkannya, untuk penghabisan aku mengecap masakannya sendiri. Apakah sakitnya? Apakah sebabnya maka ia meninggalkan daku dua beranak? Aduhai . . . . .!
44