Halaman:Laporan Hasil Penyelarasan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana.pdf/92

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Dalam konteks MLA yang memuat ketentuan asset sharing, megambil contoh penerapannya di Amerika Serikat, konsep asset sharing ini sudah dilakukan sejak lama (1989). Kasus yang terjadi pada tahun itu adalah adanya dana sebesar USD 188 juta dan dibagikan kepada negara lain yang membantu Amerika dalam mutual legal assistance (MLA). Besarnya bagian ini tergantung dari peranan negara tersebut. Kalau negara yang membantu mempunyai peranan yang esensial maka dapat memperoleh 50-80% dari aset yang dirampas. Misalnya, negara tersebut mengembalikan aset yang disita dan membela di pengadilan. Kalau bantuan bersifat substansial seperti melaksanakan permintaan Amerika, dan membekukan aset, maka negara tersebut dapat bagian sebesar 40-50%. Sementara jika peranan negara asing tersebut hanya facilitating assistance ― misalnya memberikan informasi, menyediakan dokumen bank ― akan memperoleh bagian sampai 40%.

Oleh karena peraturan pelaksanaan pasal 57 UU No. 1 tahun 2006 belum ada, maka perlu kiranya dibentuk, untuk dapat diterapkan oleh RUU Perampasan Aset kelak jika telah ditetapkan menjadi UU. Sebagai tambahan infomrasi, selama ini penegakan hokum terhadap pengejaran asset belum maksimal, karena Indonesia masih menganut prinsip ‘barang bukti’ untuk membuktikan suatu tindak kejahatan. Dalam hal seseorang melakukan tindak pidana penggelapan atau korupsi dengan nilai Rp 1 trilyun, misalnya, kemudian dikelola melalui investment banker dan custody di Hongkong sehingga berkembang menjadi Rp 5 trilyun, sesuai dengan Undang-Undang yang ada, kita hanya menuntut ganti rugi, maka yang dikembalikan hanya yang Rp 1 trilyun, padahal menurut hukum internasional, yang harus dikembalikan nilainya adalah

~85~