Halaman:Kota Jogjakarta 200 Tahun (1956).pdf/78

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Apa hasil Guru-kampung itu?

Apabila dipandang dengan katja mata kebendaan hampir tidak ada artinja sedikitpun djua. Tetapi pada waktu k.l. 50 tahun jang telah lalu, masjarakat di Kota Jogjakarta masih sangat menghargai pada kebesaran upatjara Keraton. Karena dimasa itu pada hari (Senen dan/atau Kemis) para Guru-kampung itu diperkenankan menghadap didalam Keraton dan atau kedalam Pura-Paku-Alaman. Mereka membutuhkan pengiring (Penderek Djawa) jang banjaknja setingkat dengan pangkatnja. Pengiring itu harus terdiri dari orang-orang jang sopan tangkas dan tahu akan tata susila. Inilah jang menjebabkan mereka sama berusaha untuk mendapatkan penderek dengan djalan membuka peladjaran pemberantasan buta huruf.

Demikian djuga pada hari pesowanan besar (pada hari Gerebeg, tiga kali tiap-tiap tahun), hari tingalan Wijosan atau hari Djumenengan Dalem. Guru Kampung itu sangat membutuhkan pengiring. Sebaliknja, rakjat biasapun sangat ingin turut menghadap ke Keraton, untuk mengetahui keadaan pasowanan. Faktor inilah jang mendorong Guru-guru Kampung radjin memberi peladjaran tulis menulis huruf Djawa dengan tjuma-tjuma, dan rakjat terutama pemuda-pemuda kampung sama radjin beladjar tulis menulis.

Dengan adanja Guru-guru kampung itu didalam Kota Jogjakarta sedjak itu dengan tidak terasa, semua lapisan masjarakat bersama-sama turut mengenjam: pen- didikan budi pekerti, rasa kebangsaan, dan rasa bertanggung djawab bersama atas kescdjahteraan masjarakat. Dari suatu pihak kepada pihak jang lain, tertanamlah saling mengerti, artinja dari pihak jang lebih tua, insaf akan tuanja, pihak jang muda selalu menundjukkan hormat dan baktinja. Dan pihak bangsawan dengan riang mem- beri perlindungan kepada jang lemah.

Guru teman sedjawat.

Guru jang terdiri dari teman sedjawat ini, umumnja ada pada tempat jang tertentu, jaitu dirumah-rumah para Bupati, Pangeran, Pura Paku-Alaman dan dalam Istana (Keraton).

Disitu terdapat pula peladjaran mengenal huruf Djawa, murid-muridnja terdiri dari beberapa matjam golongan hamba (abdi Djawa). Salah seorang dari mereka jang dapat membatja dan menulis, sebagai gurunja. Dengan diawasi oleh salah seorang anggauta keluarga dalam tempat itu, Paranjai (abdi estri = hamba perempuan) dan Panakawan (abdi djaler = hamba laki-laki) pada waktu jang terluang sama beladjar membatja huruf dan nembang (menjanji). Golongan Paranjai gurunja terdiri seorang Paranjai djuga, golongan Panakawan gurunjapun seorang Panakawan djuga.

Tjara mengadjar dan alat-alatnya.

Kedua peladjaran diatas itu memakai tjara jang sederhana sekali istilahnja getok tular, dengan lisan atau dalam tutur kata sadja. Sistimnja menghafalkan dari sedikit berturut-turut. Tentang alat-alat peladjaran hampir-hampir boleh dikatakan tidak ada sama sekali, waktunja dan tjara memberi peladjaran tak diadakan peraturan jang mengikat, djadi dengan tjara suka-rela.


62