Halaman:Konflik; Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940.pdf/158

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Menurutnya, wanita Minang hanya bisa menguras harta suaminya tanpa mau memikirkan dari mana dan dengan cara apa harta tersebut didapat. Dalam pikiran mereka, jika kebutuhan sudah terpenuhi, mereka tidak perlu campur tangan urusan laki-laki karena tugas mereka adalah melayani suarni dan tugas suamilah untuk mencukupi segala kebutuhan istri dan anak-anaknya. Sangat berbeda dengan pandangan Poniem yang menganggap rumah tangga itu harus dijalankan berdua. Sakit dan senang harus ditanggung bersama. Kesusahan suami adalah kesusahannya juga, begitu pula sebaliknya. Mereka harus bekerja sama membangun rumah tangga sehingga ia akan rela mengorbankan apa saja demi kelangsungan hidup keluarga.

“Engkau memang tidak tahu diuntung, dan tidak suka bertanya ke kiri dan ke kanan. Tidakkah kau tahu bahwa engkau dibeli maka bisa ke mari? Tidakkah engkau tahu bahwa segala barang yang terkedai ini tidak ada dari harta bendamu yang datang ke mari dan tidak pula dari harta benda suamimu itu? Tidakkah engkau tahu bahwa gelangku, subang dan segala perhiasan intan berlianku dahulunya yang dijual dan digadaikan untuk menegakkan perniagaan ini, sehingga suamimu yang dahulu hanya berjualan di punggung sudah bisa membuka kedai. Engkau hinakan orang Jawa? Mana engkau bisa hidup, mana tanganmu bisa berlilit emas kalau bukan karena orang Jawa ini, anak sombong! Engkau katakan engkau senegeri dengan suamimu. Ya begitulah perempuan orang Padang: mata duitan. Dahulu seketika suamiku itu melarat di rantau iru, haram kalian hendak ingat kepadanya atau hendak meminta pulang. Seorangpun haram orang perempuan Padang yang sudi kepadanya sampai di seakan-akan terbuang. Sekarang telah mendengar dia kaya dan kekayaannya itu dari gelangku, dari subang dan dukuhku, baru

146