Halaman:Konflik; Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940.pdf/152

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

timbul pula dalam kalbunya, bahkan makin lama makin hidup bernyala-nyala. Apabila dilihatnya Ramli, anaknya, yang tiada kurang tentang perkara rupa dan pangkat daripada orang lain, seakan-akan disisih orang dalam pergaulan hidup, ibalah hatinya (Iskandar, 2002:143).

Yang tak terderitakan benar-benar oleh Mak Amin ialah sesalan dan ejekan kaum-kerabatnya, orang sepersukuannya.Kata mereka itu, Mak Amin dua beranak sudah mencampakkan batu keluar, Bahkan sudah berbuat di luar adat: hendak hidup sendiri saja. Padahal adat Minangkabau menegaskan: Anak dipangku kemenakan dibimbing....Mana mau Ramli memelihara kemenakannya? Kalau tidak ada kemanakan kandung, kemanakan jauh bukantah banyak sepanjang adat, vang patut dididik-disekolahkannya? Tidak, Ramli tidak mempedulikan anak-kemanakan, sebab ia sudah di bawah telapak kaki istrinya, yang tidak seadat dengan dia...(Iskandar, 2002:1-44).

Kutipan itu memperlihatkan bagaimana pandangan masyarakat terhadap perkawinan laki-laki Minang dengan wanita yang berasal dari luar Minang. Laki-laki yang beristrikan orang asing dipandang kurang dan hina, serta tidak laku di kampung sendiri sehingga harus mencari istri di negeri orang. Tindakan mengambil istri orang asing akan menjadi sesalan dan ejekan dari kaum kerabat. Mereka akan dicap sebagai orang yang suka hidup sendiri, tidak mau bergaul dengan kaum kerabat sehingga harus mengambil istri dari Juar. Selain itu, laki-laki Minang vang menikah dengan orang asing dianggap melepaskan tanggung jawabnya sebagai mamak kepada kemenakannya karena hidupnya nanti akan selalu dikungkung oleh istrinya yang berlainan adat tersebut.