Halaman:Konflik; Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940.pdf/132

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Dengarkanlah, hai anakkoe! Ketika akoe melihat perboeatanmoe jang salah, soeatoe perboeatan jang manghinakan kepada nama kaoem kita, maka akoe hendak memeliharakan engkau ketjemaran namaoe itoe. Katahoeilah olehmoe, bahwa kita ini orang djempoetan asal berasal. Tiap-tiap orang jang hendak mempersemenda akan kita, selamanja didjempoetnja menoeroet sepandjang adat (Negoro, 1931:67)

Dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck rasa malu jugalah yang mendorong Zainuddin pergi meninggalkan kampung. Hal itu terjadi ketika ia harus menerima kenyataan atas penolakan yang diberikan oleh keluarga Hayati terhadap lamarannya.

Mengalir keringat dingin di keningnya sehabis surat itu dibacanya. Menyesal dia, padahal dari dahulu sudah disangkanya juga bahwa permintaannya tidak terkabul, sebab negeri Minangkabau beradat. Terasa malu yang sebesar-besarnya, terasa perasaan yang masih tersimpan dalam hati tiap-tiap manusia. Bahwa dia tidak mau dihinakan, Minangkabau negeri beradat, seakan-akan hanya di sana saja adat di dunia ini, di negeri Jain tidak. Padahal kalau memang negeri Minangkabau beradat, belum patut orang seperti dia hendak ditolak dengan jalan yang begitu saja (Hamka, 2002:108-109)

Harga diri dan malu menjadi menjadi konsep kultural yang penting bagi orang Minang. Dalam Sengsara Membawa Nikmat, rasa malu itu terungkap seperti dalam kutipan berikut ini.

“Kalau begitu Mamak hendak memberi malu kami,” ujar Sutan Manindih. “Tentu kami dibodohkan dan dihinakan orang, sebab Mamak kami biarkan sakit di sini.” (Sati. 2001:160)

120