Halaman:Konflik; Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940.pdf/113

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

rumah istrinya, ia dianggap sebagai tamu yang dihormati, tetapi tanpa hak dan kekuasaan. Di rumah ibunya ia didudukkan sebagai mamak, yang menyebabkan mereka. merasa risi dan gelisah karena kedudukan yang serba terkatung-katung di antara dua rumah tersebut. Dorongan untuk menunjukkan eksistensi diri bahwa laki-laki Minang sanggup bekerja dan tidak hanya pandai duduk-duduk di lepau dan menyusahkan istri, serta rasa tanggung jawab terhadap kedua rumah inilah yang secara sosiologis dan psikologis turut menjawab terhadap dorongan untuk merantau.


Di dalam novel Merantau ke Deli, tokoh Leman yang ingin mengangkat harga dirinya dan mendapatkan kembali tempatnya di kampung memutuskan untuk menikahi wanita. sekampungnya. Pikirannya yang selama ini hanya terpusat pada kehidupannya di rantau berubah setelah kepulangannya ke kampung halaman, sebagaimana yang tergambar dalam kutipan berikut ini.


Sangat banyak perubahan fikirannya sejak balik dari kampung. Banyak hal-hal yang selama ini tidak diperhatikannya, sekarang telah menarik fikirannya. Pertama ialah perhubungan famili yang rapat itu, sebab anak Minangkabau tidak dapat mengeluarkan dirinya dari lingkungan kerabat. "Suku tidak dapat dialih, malu tidak dialih, malu tidak dapat dibagi", demikian tersebut dalam pepatah adat (Hamka, 1977:51).


Kutipan tersebut menunjukkan kebimbangan Leman ketika menemui kenyataan di kampung halamannya. Kehidupan kampung yang selama ini ditinggalkan dan dilupakannya kembali hangat dalam ingatannya. Ia ingin kembali memiliki sesuatu yang selama ini hilang dari kehidupannya di rantau dan menyadari bahwa ia adalah milik dari kaum kerabatnya. Hubungan famili yang selama ini terlepas dari dirinya hadir dalam kehangatan kaum kerabatnya.101