Halaman:Konflik; Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940.pdf/114

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Keputusan Leman untuk mengawini wanita sekampungnya didorong oleh desakan kaum kerabatnya. Kebiasaan adat yang berlaku di tengah masyarakat mengenai perkawinan memaksanya untuk memikirkan keinginan kaum kerabatnya untuk mengambil istri wanita dari kampung sendiri. Poniem, walaupun adat dan perilakunya sangat baik dan disukai oleh kaum kerabatnya, memiliki satu kekurangan yang sangat fatal, yaitu ia adalah orang asing, orang yang tidak berasal dari Minangkabau. Pandangan masyarakat yang menganggap seseorang yang merantau, walaupun kaya dan memiliki harta yang berlimpah, tidak akan dipandang berharga oleh masyarakat kalau belum mengambil istri di kampung sendiri, mendorong Leman untuk mengikuti anjuran kaum kerabatnya. Dengan mengawini wanita sekampungnya berarti ia telah mendirikan adat dan kebiasaan kampungnya, memiliki gelar, dan dihormati oleh kaum kerabatnya.


Sebuah lagi yang paling penting ialah kedudukan di dalam adat. Seorang anak muda walaupun kaya raya melimpah-limpah uangnya, penuh pundi-pundinya, padat kantongnya dan berpintu-pintu kedainya di rantau orang, namun sekali dalam selama hidupnya haruslah ia membayar hutang kepada negeri dan kampung halamannya. Hutang itu bukan emas bertahil dan uang berbilang, tetapi hutang malu. Namun sekurang-kurangnya sekali selama hidup, hendaklah dia kawin di kam-pungnya sendiri. Setelah ada istrinya di kampung, walapun dia akan kawin pula sekali lagi, dua atau sepuluh kali lagi di negeri orang, tidaklah dia akan tercela, sebab dia telah sanggup mendirikan adat dan lembaga, sudah memakai gelar pusaka yang telah tersedia di dalam persukuannya yang diterima dari nenek, diturunkan dari mamak kepada kemenakan (Hamka, 1977:52).102