Halaman:Konflik; Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940.pdf/111

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

menjadi aib dan cemar, — hilang sekalian kehormatan kita. Jadi sekali lagi adinda katakan, adinda mesti pergi dari sini!” (Iskandar, 2003:164).

Kesediaan tokoh menerima keadaan yang menimpa dirinya karena didorong oleh konsep rasa juga terlihat dalam Tenggelamnya Kapal ran der Wijck. Novel tersebut memperlihatkan bagaimana Zainuddin menerima keputusan dari keluarga Hayati untuk meninggalkan Dusun Batipuh dan merelakan Hayati kawin dengan orang yang sederajat dengannya. Jika dengan kepergiannya Hayati akan menemukan kebahagiaan, ia rela. Apa pun akan dilakukannya demi gadis yang sangat dicintainya itu. Ia sangat menyadari posisinya vang tidak menguntungkan. Meskipun ayahnya orang Minang, ia tidak dianggap sebagai orang Minang. Ia adalah tamu yang tidak memiliki hak apa-apa atas Negerinya. Seorang tamu harus menghormati tempat ia bertamu. Ja tidak pantas mendampingi Hayati yang keturunan Orang berada, yang jelas asal usulnya. Walaupun sakit, ia harus menerima kenyataan pahit itu.

“Untuk kemaslahatan Hayati yang engkau cintai,” perkataan ini terhujam ke dalam jantung Zainuddin, laksana panah yang sangat tajam. Dia teringat dirinya, tak bersuku, tak berhindu, anak orang terbuang, dan tak dipandang sah dalam adat Minangkabau. Sedang Hayati anak seorang bangsawan, turunan penghulu-penghulu pucuk bulat urat tunggang yang berpendam perkuburan, bersasap berjerami di dalam negeri Batipuh itu. Alangkah besarnya korban yang harus ditempuh Hayati jika sekiranya mereka langsung kawin, dan tentu Hayati tiada akan tahan menderita pukulan yang demikian hebat (Hamka, 2002:51).

99