Halaman:Kalimantan.pdf/97

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

college dari beberapa daerah karena desakan rakjat, mau tidak mau harus menjerahkan pekerdjaan dan kekuasaannja kepada pemerintah daerah. Sungguhpun demikian tidak agak terasa kekosongan dalam pemerintahan, karena pada umumnja pemerintahan Republik dalam propinsi Kalimantan mendapat sokongan jang besar dalam tahun-tahun setelah penjerahan kedaulatan.

Tetapi Pemerintah propinsi tidak dapat membiarkan keadaan demikian berdjalan terus, maka berangsur-angsur telah dibentuk dewan Kotapradja dan Kabupaten, sedjalan dengan usaha2 pemerintah untuk mendemokratiseer pemerintah daerah. Sedjak tahun 1950 — 1951 pemerintah daerah telah berhasil dapat membentuk Dewan Perwakilan Rakjat Kotapradja Bandjarmasin, Dewan Perwakilan Rakjat Hulusungai , Sampit, Kapuas, Kota Baru, Bulongan dan Berau, sedang untuk daerah Kalimantan Barat usaha-usaha kearah mendemokrasikan belum kelihatan sama sekali. Kesulitan- kesulitan jang dihadapi Pemerintah Daerah tidak sadja karena soal-soal keuangan, akan tetapi djuga soal tenaga dan technis.

Dasar jang dipergunakan Pemerintah Daerah untuk membentuk Dewan Perwakilan Rakjat Daerah itu ialah bersandar atas dasar-dasar dari Peraturan Pemerintah No. 39, jang kemudian atas sesuatu sebab, karena Parlemen tidak mengganggap Peraturan Pemerintah tersebut demokratis, maka Peraturan Pemerintah itu dibekukan, sedang sebagai gantinja masih harus dikerdjakan lebih dahulu. Itulah sebabnja maka usaha-usaha untuk membentuk Dewan Perwakilan Rakjat daerah setelah pembekuan Peraturan Pemerintah No. 39 tidak dapat berdjalan sebagaimana mestinja, sedang dilain pihak tuntutan dan desakan partai-partai amat kerasnja supaja tiap kabupaten dibentuk Dewan Perwakilan Rakjat daerahnja.

Pemerintah Daerah Kalimantan insjaf benar akan hal ini. Susunan pemerintahan jang didjalankan oleh perseorangan tidak sadja tidak memenuhi sjarat-sjarat demokrasi , akan tetapi djuga tidak mentjerminkan kehendak dan keinginan-keinginan jang hidup dalam masjarakat. Apalagi djika orang -orang jang mengendalikan tampuk pemerintahan itu tidak disenangi rakjat. Maka pemerintahan „eenhoofdigbestuur" harus selekasnja diganti dengan pemerintahan collegiaal. Akan tetapi berbagai kesulitan menghambat usaha-usaha ini . Pertama ketentuan membagi Kalimantan mendjadi daerah-daerah otonom belum lagi dipetjahkan. Sedang diantara rakjat Kalimantan sendiri belum nampak ketjotjokan kehendak, didjadikan berapa propinsi, kabupaten, dan ketjamatan. Kedua Peraturan Pemerintah No. 10 tentang pembentukan Dewan-dewan Pemerintah darurat jang sejogianja dapat dipergunakan untuk mengatasi segala matjam kesulitan-kesulitan itu, terpaksa ditjabut kembali oleh Pemerintah Pusat karena desakan dari fraksi Partai Nasional Indonesia dalam Parlemen. Walaupun demikian Pemerintah Propinsi senantiasa mentjari djalan keluar dari kesukaran-kesukaran itu dengan mendengarkan keinginan-keinginan dari rakjat. Tetapi karena kebanjakan usul-usul jang dimadjukan oleh berbagai organisasi dan partai-partai itu, pada hakekatnja bertentangan dengan kehendak Pemerintah Pusat, maka Pemerintah Propinsi tidak bersedia untuk mengambil langkah-langkah kedjurusan apa jang dikehendaki oleh wakil-wakil partai.

Hendaknja dapat dimengerti, bahwa Pemerintah Propinsi dalam batas-batas kekuasaannja, tidak dapat dengan begitu sadja membentuk Dewan Perwakilan

93