Halaman:Kalimantan.pdf/418

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

longan jang berpengaruh telah membentuk sebuah Dewan Menteri jang terdiri dari lima orang keluarga radja, jaitu Adji Maharadja Sakti, Adji Suradewangsa, Indra Wangsi, Derwangsa dan Maharadja Sultan, jang umumnja berketurunan Adji dan Maharadja.

Salah seorang dari mereka ini, ialah Maharadja Sultan jang lebih dahulu memaklumkan dirinja selaku radja dari keradjaan Martapura, karena hak mahkota Martapura adalah hak kekuasaan jang langsung dari ibunja Mahasuri Bengalon. Pendakwaan dan tuntutan terhadap mahkota kerajaan Martapura ini tidak sadja berupa tuntutan, melainkan djuga sanggup menghadapi peperangan djika dianggap perlu. Tuntutan lainnja ialah menghendaki supaja adik kandung radja sendiri dimintanja kawin. Apabila tuntutan kawin ini tidak dikabulkan, maka serangan akan dimulai. Keluarga radja jang merasa bingung menghadapi keadaan jang demikian runtjingnja, maka ia terpaksa menjerahkan kaponakannja untuk dikawinkan dengan penuntut, jaitu Maharadja Sultan.

Tindakan jang diambilnja itu semata-mata untuk menghindarkan pertumpahan darah, sekalipun ia mengetahui, bahwa perakwinan jang demikian itu ada latar belakangnja, jaitu ingin merebut setjara legaal kerajaan Martapura.

Dalam kelandjutan tjeritanja disebutkan djuga, bahwa karena ketjintaannja jang meluap-luap hendak berbakti kepada kerajaan Kutai Lama seorang putera radja jang bernama Puntjan Karna telah memberanikan diri melalui daerah tapal batas antara keradjaan Martapura - Kutai Lama jang amat berbahaja bagi keselamatan djiwanja. Kapergiannja itu sebenarnja dilarang oleh saudaranja di Tandjung, namun ia tetap djuga berangkat, sehingga ketika ia hendak meninggalkan tanah Tandjung Djangkat, jang artinja Tundjung Tinggi, Pantjan Karna lalu membuangkan sebuah batu , sambil berdjandji dalam hatinja „djika timbul batu ini , maka aku akan tetap tinggal di Tundjung ini“.

Hingga sampai sekarang ini mendjadi suatu sumpah jang turun-temurun dari Sultan-sultan Kutai, tidak boleh melalui Sendawar - dihulu Melak - suatu tempat dimana Puntjan Karna membuang batu, dalam mana ia berdjandji kepada dirinja sendiri dan keluarganja untuk berbakti kepada keradjaan Kutai Lama. Ketika ia tiba di Kutai Lama , iapun dikawinkan, dan mulai dari waktu itu dalam kerajaan Kutai Lama diadakan suatu sidang Madjelis jang dihadiri oleh Adji Sapta dan Adji Ketudjuh jang bertindak selaku Ketua dan wakil Ketua, sedang anggauta-anggautanja terdiri dari Adji Maharadja Sakti, Suradewangsa, Indera Dewangsa, Radja Puteri Dewa Puteri dan Puntjan Karna, jang semuanja bergelar Adji dan Maharadja. Dalam sidang itu Ketua hanja memberikan rentjana dalam pemerintahan dan tjara penglaksanaannja, sedang jang berhak memutuskan ialah Adji Maharadja Sultan dengan keempat orang saudaranja jang mendjadi pemangku sjah dari Keradjaan Kutai.

Sementara itu saudaranja Puntjan Karna jang ada di Tundjung bersumpah pula tidak akan melalui Kutai Lama jang berarti pula ia melalui kekuasaan Puntjan Karna jang telah ada disana. Hingga dewasa ini, suku Tundjung jang masih berketurunan Puntjan Karna tidak pula boleh melalui Kutai Lama dihilir Samarinda - karena menurut faham mereka ialah sumpah keturunan mereka sendiri.

Berhubung dengan terdjadinja perkawinan politik antara Puntjan Karna dengan Adji Radja Puteri, maka kekuasaan Keradjaan Martapura sudah tidak ada

414