Halaman:Kalimantan.pdf/357

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

kesenian leluhur jang masih dapat dipertahankan ditengah-tengah arus penjerbuan kesenian luar. Dalam pada itu bimbingan dari Pemerintah amat diharapkan untuk djangan ragu-ragu menampung sisa-sisa kesenian daerah, dipadukan dengan kesenian luar jang kiranja dapat dipergunakan dalam tingkat zaman sekarang.

 Seni sastera suku Dajak selalu berhubungan dengan seni suara, karena tiaptiap tjerita, riwajat, sedjarah, dongengan dan lain-lain ditjeritakan sambil berlagU jang lazim disebutkan „Mansana”. Misalnja suatu kissah sedjarah silsilah orang Dajak menurut dongeng , ditjeritakan seorang pahlawan jang bernama Sempong dengan pembantu-pembantunja. Sempong kemudian melahirkan anak bungai dan rambang, ialah Penghulu atau Radja, jang dilagukan dengan bahasa Dajak kuno.

 Seni suara lainnja seperti „Mangarungut”, „Mangandan”, „Mamanjung”, dan „Manitih adalah seni-seni suara jang populair dikalangan masjarakat Dajak dahulu. Kissah romantis pemuda Bandar dengan puteri Bungsu, didjalin setelah kekuasaan Belanda berada di Kalimantan, karena didalamnja disinggungsinggung djuga pangkat-pangkat dalam pemerintahan kolonial, seperti Djindal — djenderal — dan lain-lain dikissahkan sambil berlagu memakai bahasa jang mudah dimengerti.

 „Mangandan", adalah pudji-pudjian kepada ramu atau orang besar-besar, dilagukan dengan memakai kata-kata pilihan, sambil ,,Mangandan" tukang-tukangnja jang terdiri dari kaum wanita memegang tjangkir tuak jang akan dipersembahkannja kepada tamu. Tidak ada pembesar-pembesar jang datang kedaerah Dajak, jang ta' pernah disuguhi tjangkir tuak ini.

 „Mamanjung", ialah seni suara dengan bunji-bunjian gong jang dipalu dalam irama jang tertentu — lagi kematian — Orang jang djauhnja dari tempat dimana diadakan seni suara itu lekas mengetahuinja, bahwa pada saat itu ada orang jang meninggal dunia.

 ,,Mamatih" sama halnja dengan seni-suara, tetapi sesaat setelah jang mati itu menghembuskan nafasnja jang penghabisan barulah tjara „Mamanjung" diadakan dan diganti dengan instrumen lain-lain jang dipakai oleh orang Dajak sebagai alat musiknja, ialah Gong, kenong, gendang, ketjap, rebab, garode dan lain-lain sebagainja.

 Seni tari suku Dajak tidak seberapa indahnja dan kurang banjak matjamnja, tambahan pula sulit untuk menarik garis batas, apakah itu suatu kesenian atau upatjara jang ada hubungannja dengan keagamaan. Oleh sebab itu, orang-orang Dajak jang sudah memeluk agama Islam atau Kristen agak segan-segan untuk ikut menari, karena dalam anggapannja suatu tjara dari pemudjaan dewa-dewa. Untunglah sekarang alam pikiran pemuda- pemudi agak berubah, setelah hidup bahwa „Tari untuk seni" sambil melupakan, untuk apa ia mulanja dibuat.

 Sematjam tarian „Ganggereng", adalah pemuda-pemudi berhadap-hadapan menari masong-masong memegang dua batang bambu jang diisi dengan batu kerikil, sehingga kalau digontjang mendjelmakan bunji jang riuh. Tjara menggontjangkan dibawa menari sambil memperhatikan bunji gendang dan gong sebagai pangatur langkah. Tarian ini dilakukan berganti-ganti.

353

(685 B) 23