Halaman:Kalimantan.pdf/347

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

hanja berkumpul dalam sebuah rumah, jang terasing letaknja . Mereka berkumpul sambil memalu gong dan tawaj-tawaj , bernjanji dan menari setjara pahlawan terus menerus selama tiga hari tiga malam. Selama itu mereka tidak boleh mendengar suara binatang liar, tidak boleh makan garam, bahkan tidak boleh tidur. Dan siapa diantara mereka jang tertidur maka dengan sendirinja didjadikan korban. Inilah adat baru dalam tjara pengajauan.

Pada hari kedua mereka jang berkumpul itu serempak menjeberangi sungai. Diseberang sungai mereka bernjanji dan menari sepandjang malam, dan setelah itu langsung berangkat pulang menudju kekampungnja untuk membuat apiunggun memanaskan badan mereka masing-masing. Kedatangan mereka disambut oleh para wanita dan gadis-gadis jang masing-masing memberikan sebilah pisau tadjam dan sehelai kain hitam sebagai tanda chidmat, diberikan kepada para pahlawan jang baru pulang dari pengajauan.

Mereka djuga disambut oleh kepala-kepala adat dan orang-orang tua sambil memberikan sebuah mandau-parang tadjam sedang dihadapan mereka berdiri pula orang-orangan-manusia bikinan -. Setelah ada perintah dari kepala adat, maka mereka seluruhnja mengamuk mentjentjang orang-orangan itu, seakan-akan perang lajaknja. Pisau jang diberikan gadis-gadis itu ditusukkan pula kepada beberapa ekor babi jang memang disediakan untuk itu, sedang darahnja disapukan kebadan -badan mereka . Demikianlah pada hari itu djuga diumumkan, bahwa mereka diperkenankan memakai kain hitam.

Udjian terhadap mereka belum lagi selesai, karena mesti melalui udjian satu lagi, jakni ,,berkudung" - mendjalankan pantangan - selama tiga bulan lamanja dengan menahan nafsu, karena dilarang makan telur, ikan, gula, garam, rokok dan dilarang makan dirumah orang jang beragama Islam. Baru setelah lulus udjian tiga bulan lamanja itu mereka dianggap sebagai pahlawan, dan dipandang patut untuk berumah-tangga.

Adat lainnja jang djuga belum dapat dihilangkan dalam masjarakat Dajak, ialah adat ,,tutang" - menjuntik tubuh dengan djarum sekalipun kebiasaan demikian ini kurang dihargakan, terutama bagi suku Dajak jang telah memeluk agama Islam dan Kristen. Tetapi dalam beberapa daerah dipedalaman Kalimantan, adat ini masih dipertahankan terus, masih dianggap sebagai suatu keharusan, baik bagi wanita maupun lelaki. Jang demikian ini amat erat pula hubungannja dengan kepertjajaan agama asli mereka. Tjara mereka mengukir, diambil dua atau tiga bilah djarum dimasukkan kedalam gagang kaju, kira-kira udjung djarum tersembul sedikit keluar lalu dipukul-pukulkan keseluruh badan atau dibagianbagian badan jang hendak ditjatjah.

Sebelum djarum dipukul-pukulkan, lebih dahulu diganggang pada sebuah

pelita damar, setelah merah dan panas baru ditusuk-tusukkan ketubuh. Bekas tusukan itu mengeluarkan darah dan sakitnja bukan alang-kepalang. Tidak djarang anak-anak dan wanita jang bertjatjah itu berteriak-teriak kesakitan dan menangis. Tetapi karena kerasnja adat, maka anak-anak atauwanita jang tidak mau berbuat demikian, oleh orang-tuanja dipaksa. Menurut kepertjajaan mereka, apabila mereka telah mati belum lagi bertutang, maka perdjalanannja kesorga akan gelap-gulita, karena roh mereka harus berdjalan kaki kealam baka, dengan melalui beberapa rintangan dan siksaan.

343