Halaman:Kalimantan.pdf/337

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

tidaknja dimakan seperti larangan makan daging dan beberapa djenis ikan tertentu. Karena adanja anggapan, bahwa baji ada ,,jang memeliharanja” dialam gaib pada waktu sesudah putusnja tali pusar, dilakukan pula upatjara selamatan ketjil. Selama diadakan pesta itu seluruh isi rumah harus berdjaga-djaga, sambil bersenda gurau, bermain-main ataupun menganjam tikar dan sebagainja. Upatjara ini lazim disebut upatjara ..djaga pusar”.

Mendjelang umur baji 40 hari, maka diadakan pula upatjara kenduri jang dilakukan menurut kemampuan keluarga sadja. Kalau seseorang kepala keluarga mampu biasanja dilakukan upatjara agak besar dengan menjembelih babi atau kerbau, sedang jang kurang mampu tjukup dengan menjembelih seekor ajam. Darah-darah binatang jang dipotong itu diambil dan kemudian dimandikan kepada anak dan kedua orang tuanja, bahkan dukun jang selama memelihara baji menerima hadiah berupa uang, beras, djarum dan kelapa, sebagai peng- hargaan terhadap pemeliharaannja. Biasanja djuga hari 40 itu baji diberi nama. Akan tetapi nama jang mengandung arti jang tertentu, misalnja nama pahlawan, nama bintang, pohon-pohonan dan bahkan mama binatang, untuk mudahnja nama-nama jang terkenal.

Tentang djalannja upatjara ..mandi baji", ialah dengan melakukan pemudjaan terhadap roh, lamanja djuga menurut kemampuan, boleh tiga hari, 5 atau 7 hari. Maka pada hari jang terachir keluarga si baji diarak oleh ,.tukang-tukang belian” dengan diiringi tari-tarian, njanji-njanjian jang gegap gempita bunjinja.

Demikian djuga bersama mereka dibawa kepala dan darah binatang jang didjadikan korban. Dengan sebuah perahu jang dihiasi dengan warna-warni dibawalah keluarga tersebut ketempat pemudjaan, jang biasanja dibawah sepohon kaju besar dan rindang dimuara sungai. Ditempat itulah kepala binatang ditenggelamkan atau ditanam dan keluarga baji disiram dengan darah binatang. Konon menurut sepandjang pengetahuan orang jang mengetahui, bahwa korban tidak sadja dari binatang, akan tetapi ada kalanja manusia sendiri didjadikan korban.

Setelah dibatja do'a-do'a dan mantera jang disertai dengan pembakaran wangi-wangian dan upatjara pemudjaan telah pula selesai, mereka pulang kekampungnja dan sedjak itulah upatjara kelahiran selesai.

Dalam upatjara perkawinan dikalangan suku Dajak ada beberapa matjam tjara, misalnja kawin darurat, kawin biasa dan kawin luar biasa. Jang dimaksud dengan kawin darurat, ialah kawin karena terpaksa untuk menutup matu sadja. Walaupun dalam pengertian jang sebenarnja ada persetudjuan dari kedua belah pihak, ketjuali dari orang tua mereka masing-masing. jang satu dan lainnja tidak semufakat. Biasanja antara djedjaka dan dara — gadis — ada hubungan gelap, tetapi seringkali hubungan jang demikian ini gampang tertangkap basah, pada saat mereka berada dalam sesuatu tempat jang agak terlindung. Hal jang demikian inilah jang memaksa mereka harus kawin.

Dalam perkawinan serupa ini upatjaranja tidak terlalu berat, karena lepas dari persetudjuan orang tuanja masing-masing. Perkawinan hanja dilangsungkan oleh seorang ,.belian”, dengan dihadiri oleh ketua-ketua Kampung dan ketua adat, Keduanja diberi tanda — ditandai — dengan darah ajam atau babi, sedang putih telur ajam jang diletakkan diatas beras dengan selembar daun kaju jang

333