Halaman:Kalimantan.pdf/305

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Ada jang mengatakan, bahwa inilah tanda-tanda keprimitifan, tanda tempat belum madju. Barangkali djuga benar, tetapi djuga suatu kehidupan jang sutji, kehidupan jang penuh ketjantikan, penuh keindahan, penuh perasaan mesra dan kasih-sajang pada sesama, jang menganggap dirimu diriku djuga, kesedihanmu kesedihanku djuga dan seterusnja. Alangkah sempurnanja dunia ini, djika sesudut hati ,,orang-orang sekarang" berperasaan „primitif" ini, sehingga keadaan dunia tidak serupa kini, seolah-olah dapat jang baru, jang lama lulus.

Alangkah sedihnja hati orang desa itu, orang desa jang baharu tiba dari Hulu Kapuas, Hulu Barito, Hulu Mahakam andainja menambatkan sampannja didjembatan-djembatan orang Bandar Pontianak, Bandjarmasin atau Samarinda. Tidak sempat 10 menit mereka bertambat sudah diusir oleh jang empunja, Untung djuga kalau dengan kata-kata disuruhnja pindah............ manis, tidak dengan kata-kata kasar atau belalak mata. Siapa jang bersalah dalam hal ini? Orang Bandar itu? Djuga tidak! Tetapi suasana ditempat itu sudah semestinja demikian, sebab sebentar sadja lagi, didjembatan itu akan merapat sebuah atau dua perahu besi hendak memunggahkan muatannja. Akan petjah merapuhlah perahu si Udik kalau tidak tjepat-tjepat disuruh pindah.

Bagaimana kalau didesa? Satu bulanpun boleh kita bertambat ditepian mereka. Usahkan mengusir, malah diadjaknja kita naik beramah-tamah kerumahnja. Diberinja sajur, diberinja beras baru ( kalau musim menuai ) untuk kita. Itulah antara lain perbedaan kota dan desa di Kalimantan, suatu perbedaan jang mungkin terdapat pula didaerah-daerah lain di Indonesia ini.

Sekarang marilah kita mulai melihat dari dekat penghidupan-penghidupan mereka sehari-hari, terutama dalam hal bertolong -tolongan. Kita mulai dari Kalimantan Timur. Didaerah Kalimantan Timur, terutama dibagian Hulu-hulu sungai Mahakam, Berau, Bulongan, Tidung, Kandilou, Talakei, dan lain-lain penduduk asli dari suatu kampung (desa) masih suka berdiam bersama-sama dalam sebuah rumah besar (balai) , didiami rata-rata oleh 15 à 20 keluarga. Rumah besar itu diberi berkamar-kamar (lamin) ukuran 4 × 5 m. sebanjak djumlah keluarga jang mendiami balai itu.

Mendjadi suatu ketentuan dalam adat masjarakat didaerah itu , djika datang tamu didesanja, dan tamu itu akan bermalam pula, oleh mereka akan dilajani dalam hal makan- minumnja . Penjelenggaraan ini dilakukan tidak karena memandang upah dan djasa, tetapi hanja merupakan kebiasaan (adat). baik setjara bergotong-rojong, maupun sendiri- sendiri. Mereka merasa malu dan aib kalau tidak melakukan tamunja demikian . Kalau tamu itu kebetulan seorang Islam, makan dan minumnja diselenggarakan setjara Islam pula, atau hanja diberikan bahan-bahannja sadja kalau tidak bisa dilakukan oleh mereka sendiri.

Disebabkan oleh kebiasaan-kebiasaan demikian itulah, maka didaerah ini,

kalau orang-orang mau bepergian tak mau membawa bekal sendiri. Tiap kali ia menginap dibalai orang, tentu didjamin makan, minum dan tidurnja. Kebiasaankebiasaan bepergian begini, selain dilakukan oleh pegawai- pegawai negeri pada umumnja, djuga dilakukan oleh orang-orang partikelir. Mereka tidak pusing mengangkut bekal berguni-guni beras, berpuluh -puluh kilogram ikan kering untuk perdjalanan berbulan-bulan, tetapi tjukup kalau membawa beberapa kilogram tembakau sugi atau garam untuk dibagi-bagikan kepada mereka diudik sebagai pembalas djasanja.

301