Halaman:Kalimantan.pdf/100

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Kalimantan, bukanlah seperti daerah Djawa dan Sumatera jang telah lama merasakan asam-garamnja demokrasi, akan tetapi bagi daerah ini, ia harus dipupuk dengan perlahan-perlahan sekali, supaja sesuai dengan kehendak masa dan perobahan dalam masjarakat. Inilah mungkin jang menjebabkan lambatnja perputaran demokrasi dalam susunan pemerintahan Propinsi Kalimantan. Walaupun dalam zaman kolonial — Djepang — Nica — ada dipergunakan dasardasar musjawarah, akan tetapi jang demikian itu hanja untuk menutupi kehendak mereka jang sebenarnja, sedang dewan-dewan jang dibentuknja hanja dipergunakan untuk tempat penimbunan alam pikiran kolonial belaka.

Dalam kehidupannja Pemerintah Propinsi tidak mudah dengan segera untuk menampung segala aliran-aliran jang terdapat dalam masjarakat, karena harus mempergunakan peraturan dan undang-undang untuk didjadikan dasar buat tempat penjaluran aliran-aliran itu. Karena itu beberapa saat setelah terbentuknja Negara Kesatuan, dengan Propinsi Kalimantan sebagai daerah lingkungan kesatuan ketatanegaraan, belum dapat menuangkan demokrasi kedalam pemerintahanınja, sekalipun jang demikian itu, tidak berarti bahwa Pemerintah Propinsi kurang demokratis.

Hak-hak demokrasi, dimana rakjat harus memilikinja belum dapat dibagi kepada susunan pemerintahan jang terendah sekalipun, karena untuk ini dibutuhkan suatu peraturan dan undang-undang. Inilah mungkin sebabnja Pemerintah Propinsi berdjalan sendiri, mendjalankan pemerintahan sendiri, seolah-olah tidak mendapat bantuan dari partai dan organisasi. Untuk menggambarkan keadaan jang terdjadi dalam masjarakat Kalimantan pada waktu zaman federal, untuk sekedar mendjadi bahan perbandingan, baiklah dikemukakan, bahwa azas-azas demokrasi seakan-akan mempunjai nilai jang amat tinggi dan dihormati oleh pengendali pemerintahan, dalam hal ini Belanda. Karena dasar inilah jang dipergunakannja untuk membentuk badan-badan dan lembaga-lembaga demokrasi, sekalipun hakekat sebenarnja berlainan dalam pratek. Karena badan jang dibentuknja itu , hanja terbatas kepada anggauta- anggauta jang dipilih atau ditundjuknja sendiri, sedang aliran-aliran jang menentang politik Belanda, tidak diperkenankan untuk memasuki lembaga demokrasi itu.

Oleh karena itu tidaklah heran djikalau badan-badan jang dibentuknja itu tidak mempunjai pengaruh apa-apa dalam masjarakat, tidak mendapat penghargaan, dan tidak mempunjai nilai sama sekali, ketjuali hanja sekedar untuk memuaskan kepada golongan-golongan ketji jang dibutuhkannja. Pihak Belanda sendiri bukan tidak insjaf akan perbuatan-perbuatannja itu, melainkan karena terpaksa — daripada tiada, bukanlah lebih baik ada. Tidak ada rotan akarpun djadi. Golongan- golongan jang duduk dalam lembaga demokrasi jang akan mendjalankan pemerintahan, mendjaga tata-tertib negeri, kehakiman dan sebagainja adalah terdiri atas golongan-golongan jang bukan dipilih oleh suara rakjat. Tidak pula mewakili sesuatu partai atau organisasi, melainkan golongan-golongan feodal jang akan mewarisi kolonial Belanda.

Apakah jang diharapkan dari susunan pemerintahan jang demikian itu? Apakah jang diharapkan dari orang-orang jang berdjiwa kolonial itu untuk perbaikan nasib masjarakat dan rakjat? Itulah sebabnja lembaga demokrasi jang ditanam Belanda di Kalimantan tidak memberi bekas sama sekali, bahkan laksana

96