Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/96

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Bapak itu memandangku lama, begitu juga anaknya. Tak lama, mereka saling berpandangan. Bapak itu berkata kepadaku, "Apa tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa, Pak. Malah sangat bagus kalau Bapak mau menerimanya."

Anak itu memandangi Bapaknya seolah menyuruhnya mengatakan, iya. Aku rasa, ia, terharu.

Aku mengambil tangan anak itu dan menyelipkan buku itu di kepalan tangannya lalu tersenyum. "Ini untuk kamu."

"Terima kasih, ya Nak." Si Bapak tersenyum kepadaku, wajahnya berubah jadi berseri. Senyumnya tidak lagi dipaksakan, senyuman itu tulus dan hangat.

Aku berjalan meninggalkan mereka dan kembali ke toko buku.

"Hidup memang makin susah." Pak Budi tersenyum padaku. "Kalau semua orang sebaik kamu ini..."

"Biasa aja, kok, Pak," kataku merasa sangat malu.

"Berapa, Pak?"

Aku berjalan keluar dari pasar dan aku melihat sekelilingku, ada pengemis, ada seorang nenek yang mungkin umurnya sudah lebih dari tujuh puluh tahun, duduk di atas sebuah plastik di atas tanah yang becek, dan di hadapannya ada sayuran yang sudah tidak segar lagi. Dengan suaranya yang lemah, dia masih berusaha mengimbau para pembeli, menawarkan dagangannya.

Juga seorang anak laki-laki, berbadan kecil, masih memakai celana seragam SD, menjajakan kerupuk pada setiap orang yang lewat. Anak sekecil ini sudah mencari uang.

Sudah hampir enam belas tahun aku hidup, tapi aku merasa baru pertama kali melihat pemandangan ini.

Selama ini aku hanya melihat yang indah-indah saja, aku tidak pernah melihat sisi lain dari dunia yang kutempati ini. Aku sama sekali tidak memedulikan sekelilingku, aku hidup dalam duniaku sendiri yang egois.

Dan, betapa malunya aku mendengar pujian dari Pak Budi tadi, aku sangat tidak pantas menerimanya. Pujian itu sama sekali bukan untuk manusia yang sama sekali tidak bersyukur, seperti aku.

Sekarang aku merasa semua ucapan Dian benar.

84