Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/101

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

lidah air laut yang berbusa.

Kami semua disusun sedikit menjorok ke laut, mungkin sebagai pembatas agar ombak laut tidak menghantam jalanan sepanjang pantai ini atau kami akan dijadikan tempat orang-orang yang duduk menikmati indahnya matahari sore, tempat para penulis yang ingin mencari inspirasi, tempat para pelukis yang akan melukis indahnya gulungan ombak laut, atau tempatnya para pemikir yang kehabisan pikirannya.

Sore pertama yang aku rasakan adalah pantai ini begitu ramai dikunjungi orang, menikmati hangat dan indahnya sang perkasa siang yang akan menyelam ke dalam laut di balik pulau sana. Burung camar tidak henti-hentinya menari di sekitar cahaya kuning keemas-emasan. Menambah asri suasana.

Dan, malam pun jatuh. Tapi, orang-orang masih ramai berdatangan, apalagi yang masih remaja. Entah tradisi apa yang dipakai pemuda-pemudi harus keluar di Sabtu malam. Aku hanya bisa menggerutu melihat mereka bergandengan tangan dengan mesranya. Bukan aku iri karena aku hanya sebongkah batu yang dibawa dari sebuah bukit tempat tinggal lamaku dan dipergunakan oleh orang-orang di sini sebagai penyangga amukan ombak laut?

Tapi, yang aku herankan, kok mereka bisa dengan mesranya begitu, melebihi sepasang suami istri. Pantas saja ombak-ombak laut bisa marah karena melihat tingkah laku mereka. Dan, aku teringat akan kisah pilu yang dialami tanah rencong, pada bulan Desember, dua tahun yang lalu. Ombak begitu mengamuknya, melahap semua yang terlihat olehnya. Masyarakat yang tidak berdosa pun ikut ditelannya. Padahal, pemicunya hanya dua insan manusia yang belum sah melakukan hal yang telah disahkan menurut agama. Entahlah, yang kutahu hanya itu karena aku hanya sebongkah batu yang dibawa dari sebuah bukit tempat tinggal lamaku dan dipergunakan oleh orang-orang di sini sebagai penyangga amukan ombak laut. Aku tidak pernah mendengar radio. menonton tv, atau pun membaca koran.

Malam sudah cukup larut, tapi sepasang remaja masih asyik duduk di tubuhku. Janji-janji muluk yang diutarakan pemuda itu membuatku ingin muntah dan meludahkannya

89