Halaman:Indonesia Madjalah Kebudajaan Edisi Djanuari-Pebruari-Maret.pdf/42

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

— Sekarang kenapa ?

Lakilaki itu takmendjawab. Perhatiannja bertjabang dua. Ia gairah ingin menjaksikan sawahsawahan anak itu tapi segan mendjalani pekarangan rumah jang berbentjah-bentjah. Bila musim hudjan datang seluruh tanah disini djadi berlumpur sedang dimusim kemarau penuh abu jang beterbangan. Dan seperti orangorang tua anakanakpun ramai pula kesawah. Mereka main sawahsawahan, sepandjang hari dan sepandjang waktu.

— Ori harus lihat. Ori belum pernah lihat sawahsawahan, bukan? tawar anak itu lagi.

— Belum, djawab lakilaki itu.

— Karena itu mari aku antar.

— Djangan sekarang. Besok sadja kalau tidak hudjan.

— Kalau tidak hudjan kami tak main sawahsawahan Jagi, anak itu mendjelaskan.

Pajah djuga lakitaki jang dipanggil Ori itu mengelak adjakan anak itu. Tapi untung, sebelum keduanja berangkat, ibu anak itu tibatiba muntjul melihat badan anaknja penuh dengan lumpur perempuan itu bertarjak :

— Aduuuuh,......... kamu berkubang lagi......... Kau membiarkan sadja dia berkubang... katanja kepada lakilaki itu.

— Kami sedang mupakat besok dkan main sawahsawahan lagi, djawab lakilaki itu.

— Kau harus melarang dia supaja djangan main lumpur sadja, mohon perempuan itu.

— Biarkan sadja, kata lakilaki itu.

— Kami takbisa melarang dia. Tiap hari dia hilang dari rumah don membadjak sepandjang hari.

Tampééé......... , Tampééé.......... perempuan itu memanggil. Basuh si Fare biar dia bersih. Sudah itu bawa dia kemari.

Anak perempuan jang dipanggil Tampe itu muntjul lalu membawa anak itu kebelakang. Anak lakilaki itu berdjalan takpeduli. Ia takut pada ibunja. Tapi pada lakilaki jang dipanggil Ori itu ia samasekali tak menundjukan perasaan demikian. Malah dengan mata jang berkedipkedip ia melirik lakilaki itu. Dan lakilaki itu tersenjum karena mendapat lirikan.

— Kami tak bisa melarang dia, perempuan itu mulai lagi setelah anak laki-laki itu meninggalkan mereka. Pernah aku mengurung dia dalam rumah tapi seorangpun takada jang tahu ia bisa lolos sendiri. Ia lari kehudjan lebat dan dengan beberapa orang anak mereka mulai membadjaki sebuah lapangan dibelakang rumah. Itulah sawah mereka, katanja.

— Diwaktu ketjil aku sendiri takpernah berbuat seperti itu. Karena itu aku senang melihat mereka main sawahsawahan, kata lakilaki itu.

— Itu karena salah ajah kita. Sedjak ketjil kau takpernah diadjar mentjintai tanah. Sedjak ketjil kau dipisahkan dari ladang. Kau dikurung dirumah. Sedjumlah saudara-saudara ajah mendjagai kau. Kau takboleh menjentuh tanah karena itu kotor. Kau lakilaki sendiri jang ditjintai ajah. Lebih dari mentjintai ibu. Kau saperti pangeran ketjil bila turun kesowah sudah sedia orang jang bakal menggendong kau. Sebuah pajung jang berkembang melati menaungi kau dari terik dan hudjan.

Karena hal itu aku djadi asing diantara keluarga kita.

— Memang kau djadi asing. Kau tidak mengerti kehidupan petani. Itu salah ajah kita seperti kau katakan tadi.

— Memang salah ajah. Ajah memisahkan kau dari kami. Dan oleh pisahan itu kau taklagi memiliki kulit seperti kulit keluarga kita. Kulit jang keras dibakar terik. Kau telah lain. Wedjahnja [...] taklagi menuruni wadjah dan kulit ajah. Wadjah