MOCHTAR LUBIS
BAJINJA KULITNJA HITAM
TJOBALAH dengar tjeritaku inj. Ketika aku berusia antar 13 dan 15 tahun aku dan ajah serta ibu dan saudara2ku tinggal disebuah kota ketjil di Atjeh. Kotanja terletak dipedalaman. Karena rakjat Atjeh itu terkenal radjin menikam kulit putih, maka ditempat ketjil itupun ada satu pasukan serdadu kompeni. Komandannja seorang kapten tua, akan tetapi wakilnja seorang letnan muda. Namanja Wolf.
Selama Letnan Wolf ini belum datang, hubungan antara marsose kompeni itu dengan rakjat tidaklah begitu tegang. Memang mereka tidak disukai oleh rakjat, akan tetapi kedua pihak mengambil sikap — kamu tidak ganggu kami, kami tidak ganggu kamu.
Akan tetapi setelah Letnan Wolf datang, maka suasana segera berubah. Pertama sekali Letnan Wolf datang membawa isterinja jang muda. Dan isterinja sebagai biasanja perempuan kulit putih kurang memperhatikan adat-istiadat oenduduk. Suka berdjalan kemana-mana dengan pakaian jang tidak sesuai dengan perasaan2 rakjat. Ditambah lagi dia seorang periang hati, dan seenaknja sadja masuk kampung. Akan tetapi setelah dia terbentur pada sikap rakjat jang dingin, maka achirnja dia djuga terbatas didalam tangsi belaka.
Letnan Wolf tjeoat membikin dirinja tidak disukai orang kamoung. Malahan kemudian segera dia djadi kebentjian orang banjak. Dan banjaklah rentjong jang diasah-asah oleh orang2 jang memutuskan hendak berdjihad membunuhnja. Letnan Wolf itu rambutnja pirang, badannja tinggi besar. Dia muda pula. Alangkah sombongnja dia.
Marsose2 semuapun tak ada jang suka padanja. Dibelakangnja marsose2 selalu mengutuknja, dan ingin melihat ada rentjong jang masuk kedalam rusuknja. Tetapi mereka serdadu2 itu tidak boleh melawan atasan.
Marsose2 itu sering bertjerita antara mereka, betapa Letnan Wolf ini seorang jang amat sombong sekali. Djika dia memarahi serdadu2nja, maka selalu keluar sumpahnja matjam2 seperti babi, andjing, holverdome, dan disamping maki-makian jang lain, tidaklah lupa tiap kali dia memaki djuga menjerukan kutukan : kowe kulit hitam !
Kelakuannja ini tersiar djuga keseluruh kampung, hingga seluruh rakjat jang ikut berkulit hitam seperti marsose2 itu ikut pula merasa terhina oleh Letnan Wolf. Kamipun kanak-kanak itu merasa kesal dan djengkel. Seorang kawan sampai menamakan andjingnja ,,wolf", dan kami suka sekali berlari-lari dengan andjingnja dodepan tangsi, dan ber-teriak2 memanggil si andjing: wolf, wolf, wolf!
Apa jang terdjadi didalam tangsi antara Letnan Wolf dengan serdadu-serdadunja tidaklah djelas benar keluar. Akan tetapi ditjeritakan timbul perkelahian antara seorang sersan lawan Letnan Wolf, dan sersan itu dipukul djatuh oleh Letnan Wolf, dimasukkan kedalam sel dan entah apa lagi.
Tiada berapa lama kemudian dua orang marsose datang kerumah Pak Karait. Pak Karait bukan orang Atjeh asli. Tidak seotang djuga jang tahu dari mana asalnja. Akan tetapi selama saja ingat, dia sudah lama tinggal dikampung itu. Dan dia adalah seorang dukun jang amat disegani, malahan ditakuti. Orangnja sudah tua sekali. Aku sendiri tidak oernah berani datang kerumahnja.
Menurut tjerita bukan sadja Pak Karait mempunjai seekor harimau siluman, akan tetapi dikamar tidurnja ada seekoor ular besar. Dan Pak Karait sendiri ditjeritakan orang setiap waktu dapat menghilang, dan dia dapat pergi kemana-mana dengan tje-
33