Halaman:Indonesia Madjalah Kebudajaan Edisi Djanuari-Pebruari-Maret.pdf/211

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

stalik tidaklah lain daripada suatu reaksi defensif dari alam terhadap beberapa akibat kegiatan inteligensi jang mendesak individu untuk ditindas dan me-metjah² masjarakat. Untuk mengatasi hal ini semuanja maka agama statik itu mengadakan suatu ikatan antara manusia dan hidup, antara individu dan masjarakat dengan djalan dongengan² dan lagu² jang meninabobokan. Menurut Bergson maka agama statik ini merupakan hasil 'function fabulatrice" dari inteligensi kita. Oleh inteligensi ini maka manusia mengetahui, bahwa pada suatu hari ia akan meninggal, hal mana tak dimiliki oleh hewan. Oleh karena itu manusia mentjiptakan Tuhan jang akan memasukkannja keneraka bila perbuatannja didunia tidak baik dan akan memasukkannja kesurga bila perbuatannja didunia baik, Maka manusia jang memiliki agama slatik ihi adalah manusia jang tertindas djiwanja oleh karena moral jang dimilikinja adalah ,morale de la pression". Dalam hal demikian menurut Bergson peranan "function fabilatrice" pada manusia sama dengan peranan "instink" pada hewan. Berbeda dengan manusia jang memiliki agama statik adalah manusia jang memiliki agama dinamik. Sebab agama dinamik adalah hasil suatu djalan kembali dalam suatu djurusan darimana datangnja elan vital, dari keinsjafan akan menjentuh sesuatu jang tak dapat ditjapai tetapi menarik kita untuk menafsui hidup. Mereka jang termasuk kedalamnja adalah para altruis jang memeluk agamanja bukan sebagai pekerdja² kasar jang mengharapkan upah disurga, melainkan mereka jang memiliki elan d'amour dan moralnja adalah ..morale de l'aspiration". Mereka ini bisa demikian karena suatu panggilan dan mereka ini bebas dari suatu deterimnisme sosial. Mereka ini adalah orang² jang tidak mengeluh dikala menderita karena sadar akan panggilan dan tanggungdjawabnja. Kesetiaan mereka kepada masjarakat adalah kesetiaan atas dasar kebebasan, kesetiaan seorang anak kepada seorang ibu dan bukan kesetiaan seorang budak kepada seorang tiran. Tetapi masih perlu kita tjatat, bahwa mereka jang mendapat panggilan jang sedemikian itu bukanlah hanja terbatas dikalangan agama sadja, melainkan seorang sebagai Mahatma Gandi, Kristus, Buddha Gautama, Radjiman Wedyadiningrat, Winston Churchill, dsb. dan bukan orang² sematjam Savonarola, Faruk, Hitler, Nero, dsb. Pendeknja untuk memindjam istilah Scheler, mereka jang mempunjai panggilan sematjam itu adalah para Vorbilder dan mereka jang menentangnja adalah para Gegenbilder. 5)

Sampai disini mungkin diantara kita akan ada jang bertanja tentang dasar dari djudul karangan ini: Kesetiaan intelektual kepada masjarakat", sedangkan seluruh discours ini telah menjampaikan keinginannja untuk menundjukkan, bahwa djustru inteligonsi itu membawa manusia kepada suatu laikisme, intelektualisme berarti suatu laikisme. Dengan intelektualisme masjarakat dibawa terdjun kedalam djurang jang sangat berbahaja sebagaimana telah diperlihatkan oleh masjarakat burdjuis Perantjis dengan tokohinja Barrès, Sorel, dsb. Oleh egoisme dan liberalisme jang tidak memahami makna sedjarah maka manusia dikemudikan oleh pasi politik jang sangat berbahaja. Malahan mereka jang padamulanja telah mendapat panggilan itu ada gilirannja melakukan pengchianatan sebagai dilihat dengan tadjamnja oleh J. Benda. Djika seorang buruh rendahan jang bekerdja dipabrik dengan upah jang serba tidak tjukup mempunjai sifat egoisme maka ia dapatlah dimaafkan. Tetapi djika seorang pemimpin jang harus mengurbankan segala kepentingan dirinja untuk keperluan jang dipimpinnja itu bersifat egois, maka sulitlah untuk memaafkannja. Djika seorang pemeluk agama jang tidak mengetahui seluk-beluk ilmu agama dan ia bersifat bodoh dengan "function fabulatrice” maka ia masih dapat dimaalkan. Tetapi djika perbuatan itu dilakukan oleh seorang pemimpin

—————————————————

5) Max Scheler. Der Formaliamus in de: Ethik end die materiale Wertothik, Halle, 1927, p. 609.

101