Hari ini sama dengan hari-hari sebelumnya. Seperti biasa, aku datang ke sekolah lebih awal dari siapa pun. Hari ini aku memakaij am tangan yang baru. Yah, walaupun merknya tidak Levis atau Gucci, tetapi aku senang memakainya. Aku bisa pamer dengan teman-temanku di sekolah. Buktinya saja, Tia memuji jam tangan berwarna merah yang melingkar di pergelangan tanganku. Dengan bangga aku berucap, “Ah, biasa saja. Ini jam tangan baru yang dibelikan ayah untukku, Kemarin ayahkan keluar kota, jadi beliau tidak lupa membelikan oleh-oleh untukku dan ibu.”
Teman-teman yang mendengar ocehanku, begitu kagum dengan ayah yang kumiliki. Ayah ideal yang ditampilkan oleh setiap anak. Melihat tampang pengen dari teman-temanku, membuatku tersenyum sendiri. Ternyata aku bisa membawa mereka dalam alurku.
Aku mondar-mandir di depan cermin. Bingung, antara pergi ke pesta ulang tahunnya Tia atau tidak. Kalau aku Pergi, otomatis aku meninggalkan ibu sendiri. Mana ulang tahun Tia pada malam hari. Seandainya aku tidak pergi, Tia pasti akan marah. Tia, secara sahabat terbaik yang aku punya selama SMA, Sungguh sulit memutuskan dua pilihan, yang kedua-duanya sama-sama penting. Aku lihat jam terus berputar. Walaupun gerakan jam itu sama setiap harinya. Satu jam ada enam puluh menit, satu menit ada enam puluh detik. Tapi saat ini, perputaran jam dari angka yang satu ke angka yang lainnya begitu cepat rasanya. Begitu cepatnya jam telah menunjukkan pukul tujuh, dimana pesta ulang tahunnya Tia akan berlangsung.
Tidak ada yang aku perbuat, selain mondar- mandir. Melihat jam terus menerus. Gelisah. Hingga akhirnya, telepon genggamku berbunyi, dan di layarnya tertera nama Tia. Cemas aku mengangkat telepon darinya.
“Icha, kamu di mana sekarang? Acara ulang tahunku sudah mulai. Kamu datangkan?” rengek Tia kepadaku.11