Halaman:Horison 01 1970.pdf/4

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini telah diuji baca

SUATU HARI
DALAM KEHIDUPAN
PRAMUDYA ANANTA TOER


OLEH : GOENAWAN MOHAMAD *)

HIDUP memang bukan pasar malam, djuga ditempat tahanan politik Pulau Buru. Dibelakang kawat berduri itu berdjadjar barak-barak bambu: bangunan sederhana ditengah sunji ilalang dan pokok-pokok meranti jang telah ditebang. Dikeluasan itu, hampir-hampir tak ada suara.

Dihari Kamis sore jang mendung tanggal 25 Desember 1969 tersebut, seorang laki-laki berkaus dan bertjelana khaki-drill lusuh berdiri dekat barak paling udjung, Barak XIX. Rambutnja putih seluruhnja. Dari djarak sekitar 25 meter itu saja tak segera mengenali wadjahnja, jang kadang-kadang diselaputi asap sampah sedang dibakar. Tapi kemudian saja tahu dialah Pramudya Ananta Toer.

Ia adalah tahanan pertama jang terlihat dalam kamp itu. La melambai-lambai rombongan wartawan jang datang dari Djakarta, lewat Ambon, singgah Namlea, menjusuri Sungai Way Apu, dan saat itu muntjul satu demi satu — setelah perdjalanan kaki jang pandjang menudju kamp — diatas djalan setapak jang betjek dan hitam.

„Pramudya!?”, teriak seorang wartawan.

„Jaaa...”, Pram mendjawab berseru. Suaranja masih keras lantang, masih menggeletar dengan emosi dan sifat gugupnja jang lama, seperti dulu. Hanja kini tubuhnja nampak liat, kulit wadjahnja lebih terbakar matahari. Ia memelihara kumis.

Saja berhenti, memasang kedua kamera jang tergantung dileher dan dipergelangan tangan, mentjoba memotret wadjah dikedjauhan itu lewat kawat berduri.

DEKAT saja, disamping tonggak tempat saja menopang kan bahu mengatur fokus, Bur Rasuanto berseru, memperkenalkan dirinja kembali kepada Pramudya Ananta Toer. Pram agaknja tak lupa kepada pengarang jang lebih muda satu generasi sesudahnja itu, bekas tetangganja, jang dulu pernah djadi lawannja berdebat disaat-saat bertandang, dan kemudian djadi salah satu unsur dalam lawan politiknja ditahun 1964, ketika anakmuda itu ikut menjusun dan menandatangani Manifes Kebudajaan.

*) Sebagai wartawan Harian KAMI, Sdr. Goenawan Hohamad pada tanggal 18 Desember j.l. telah mengundjungi Pulau Buru, dimana tahanan² politik Golongan "B" ditempatkan. Diantara para tahanan, terdapat Pramudya Ananta Toer, pengarang Perburuan, Bukan Pasar Malam, Keluarga Gerilja dan lain². Tulisan ini merupakan salah satu reportasenja, diolah kembali dari Harian KAMI 22 Desember 1969. (Red.).

Saja sendiri berteriak: „Mas Pram, ada salam dari H.B. Jassin!”

„Terimakasih !”, ia menjahut.

Sebenarnja, pada saja tidak ada amanat menjampaikan salam sematjam itu dari H.B. Jassin — jang tak tahu sebelumnja bahwa saja akan berdjumpa Pram di Pulau Buru — tapi saat itu tak ada tjara lain bagi saja untuk membuka pertjakapan: suatu kesempatan jang mungkin tak akan saja dapatkan lagi dalam hidup saja. Pramudya Ananta Toer tak pernah mengenal saja, dan saja tak pernah berkenalan dengannja setjara pribadi. Ia menjangka saja adalah seorang jang bernama „Goenawan Semaun”, dan saja hanja berseru mengijakannja. Waktu begitu sempit dan tempat begitu tak wadjar buat suatu upatjara introduksi jang tidak perlu.

Lagipula apa baiknja itu buat Pramudya Ananta Toer? Sudah tjukup baginja untuk mengetahui bahwa dalam rombongan wartawan jang datang itu ada dua orang pengarang jang dikenalnja, Bur Rasuanto dan Alex Leo, dua pengarang jang berada difihak lain dari fihaknja, dan karena itu mempunjai peruntungan jang lain pula daripadanja dalam kebebasan. Saja tak bisa menebak, adakah kundjungan orang-orang dari luar tempat pembuangan sore itu menggembirakan atau menjedihkannja. Hanja pada saja ada sematjam kechawatiran aneh, kalau ia mengira bahwa beberapa orang hari itu sengadja datang kepadanja untuk menjindir ketidak-bebasan jang kini mengungkungnja, dengan salam dan senjum mengasihani, pertanda kelebihan dan pembalasan rasa sakithati, sebab merekalah orang-orang jang dulu pernah dikutuknja hingga tak merdeka lagi buat berbitjara dibawah bajang-bajang kekuasaan Partai Komunis, sebagaimana ia kini — meskipun dengan kondisi jang lebih djelek ― djuga tak merdeka untuk berbitjara.

Karena, soalnja sudah demikian djauh. Perbedaan serta pertentangan faham telah berachir dengan perbedaan dan pertentangan nasib, diantara pagar jang didjaga dan petak rumput jang luas sore hari itu. Hidup memang bukan pasar malam. Nasib tak terbagi serentak beramai-ramai. Saja tak jakin adakah saja — ketika untuk kesekian kalinja memandang Pramudya Ananta Toer lewat katja kamera — djadi bersjukur, atau menjesal, karenanja.

„Klik”, saja memotret. Pada momen itu Pram tersenjum.

HORISON / 4