Halaman:Horison 01 1970.pdf/3

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini telah diuji baca

TJATATAN KEBUDAJAAN

KEKERASAN SEBAGAI SATU TJIRI BARU KEBUDAJAAN?

BEBERAPA waktu jang lalu tewas dua pemuda Indonesia dipuntjak Gunung Semeru. Kematian mereka menarik perhatian seluruh masjarakat, tidak sajda di Djakarta, akan tetapi diseluruh Indonesia. Kedua pemuda ini mewakili generasi muda Indonesia dalam sifatnja jang terbaik. Idan Lubis, salah seorang pemimpin Kappi di Djakarta, jang waktu perdjoangan meruntuhkan resim Soekarno telah mengalami ditahan dan dikedjar-kedjar oleh alat2 negara jang masih dapat dikerahkan resim Soekarno dikala itu. Soe Hok Gie, adalah pemuda-intelektuil Indonesia jang militan, idealis dan romantis, jang hendak membina satu masjarakat baru ditanah air dengan api putih kesutjian djiwa mudanja jang menjala membakar djiwa raganja.
Idam Lubis jang djauh lebih muda memendam rasa frustasinja dengan perkembangan ditanah air kita dalam menulis sadjak2 untuk dirinja sendiri. Soe Hok Gie dengan lisan dan tulisan menjampaikan djeritan hatinja setjara terus-terang dan tanpa tedeng aling2. Suaranja berkumandang terang dan njaring.
Kedua-duanja, sebagai ribuan lagi pemuda jang lain ditanah air kita menderita dibawah rasa frustrasi jang semangkin meningkat, jang membawa mereka pda ketebing pemikiran untuk memakai kekerasan guna mengadakan perobahan2 sosial jang mereka rasa harus dilakukan. Sebagai djuga banjak pemuda di negeri2 lain, mulai dari Amerika Serikat, sampai ke Djepang dan di Eropah, maka kini pemakaian kekerasan untuk mendapatkan perobahan2 sosial jang dikehendaki timbul sebagai satu tjiri baru kebudajaan.
Sebenarnja pula kekerasan dalam kebudajaan bukanlah sesuatu jang baru. Ia selalu ada, bersifat latent dalam masjarakat2 jang tidak digojah oleh tuntutan2 perobahan. Malahan pula sesuatu masjarakat lahir dari kekerasan. Negara pada dasarnja bersendikan kekerasan, jang kemudian dilembagakan dalam hukum dan undang2 jang timbul djadi sematjam „pakta atau kontrak sosial”
Baru2 ini seorang sardjana mengatakan, bahwa korupsi telah mendjadi kebudajaan di Indonesia. Djika ini benar, (dan tjukup tanda2 untuk menjokong pendapatnja), maka ini berarti, djika kita tidak mau menerima bahwa korupsi djadi kebudajaan di Indonesia, bahwa kita mesti membina satu kebudajaan baru ditanah air kita. Djelaslah, djika kita tidak mengganti kebudajaan korupsi ini, maka bangsa dan negara kita akan hantjur karenanja.
Dapatkah kita membina satu kebudajaan baru di Indonesia tanpa memakai kekerasan? Pertanjaan ini djuga ditudjukan kepada pimpinan bangsa dan negara kita sekarang. Dapatkah umpamanja pemerintah Presiden Suharto membina kebudajaan baru di Indonesia tanpa harus memakai kekerasan? Dan sebaliknja pula dapatkah hasrat2 dan tuntutan2 perobahan2 sosial dan politik jan terkandung dalam berbagai matjam golongna masjarakat disalurkan tanpa pemakaian kekerasan?
Kapan pemakaian kekerasan dapat dianggap sjah atau tidak sjah?
Dapatkah perobahan2 sosial didalam sesuatu masjarakat dilakukan dengan damai dan persetudjuan bersama?
Kami merasa, bahwa pemakaian kekerasan untuk mendapatkan perobahan2 sosial dapat dilakukan dengan menempuh djalan damai. Perkembangan emansipasi jang tidak memakai kekerasan adalah djalan terbaik untuk mentjapai tjita2 pembinaan masjarakat jang adil dan makmur merata, jang hidup dalam kemuliaan manusia.
Akan tetapi hal ini hanja dapat ditjapai, djika pimpinan bangsa memberikan tauladan2 jang tepat, memberikan inspirasi2 dan dorongan2 jang tepat dan tegas pula pada rakjat.
Proses2 legislatif dan perundang-undangan jang kreatif dapat ditempuh untuk mentjapai perobahan2 jang diperlukan.
Akan tetapi djelaslah, bahwa untuk ini diperlukan “leadership” jang luas pandangan, jang konsepsionil dan penuh kesetiaan pada nilai2 kemuliaan martabat manusia.

MOCHTAR LUBIS

HORISON / 3