Meniru
Di Djakarta, bukan sedikit, suami-isteri Indonesia, jang merasa dirinja masuk golongan muda, bergandengan bila berdjalan-berdjalan. Menonton bioskop, keluar rumah mentjari hawa, pergi ketoko dan sebagainja. Dan tidak sedikit pula jang bergandengan itu, belum dan tidak dapat menjerupai tingkah dan laku suami-isteri Barat. Mereka masih agak malu-malu, bila berdjumpa atau dilihat orang, meskipun seorangpun tak ada jang akan mentjatji atau menegor, bahwa tingkah dan laku sisuami-isteri itu, dimata orang Indonesia sangat djanggal. Soal meniru ini bukan sadja terdapat dikalangan kaum wanita Indonesia, bahkan dikalangan wanita bangsa lainpun terdapat pula. Kita lihat sadja bintang-bintang pilem Amerika jang mulai gemar memakai sarung dan tidak sedikitpun pula wanita Barat jang mempeladjari tari Timur.... djadi telah mendjadi kebiasaan dunia, Barat meniru Timur, sedang Timur gemar pula mentjontoh Barat.
Hanja bagi saja, soal meniru-niru itu mesti ada batas-batasnja pula, djangan sampai djiwa Timur mendjadi Barat dan roh Barat bertukar mendjadi Timur.
Dan saja jakin pula, bahwa bagi orang-orang jang sudah sedar, jang djiwanja telah berisi kebudajaan, soal meniru dan mentjontoh itu tidak akan mudah. Mereka telah tahu mana jang baik dan mana jang buruk bagi dirinja sendiri.
Pergerakan
Alam wanita Indonesia tidak dapat dipisahkan dari pergerakan. Pergerakan wanita, kebangunan wanita Indonesia belum lama umunja. Kalau kaum bapak baru sadja 40 tahun "bangun", kaum wanita Indonesia mengikuti langkah dan djedjak kaum bapaknja lebih kurang 30 tahun. Bergerak dalam kalangan politik baru sadja 12 tahun
103