Halaman:GS.djvu/13

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini belum diuji baca

Adapun penawar bagi ateisme harus diharapkan dari ajaran yang di paparkan dengan baik, maupun dari perihidup Gereja serta para anggotanya secara menyeluruh. Sebab panggilan Gerejalah menghadirkan dan seperti mengejawantahkan Allah Bapa beserta Putera-Nya yang menjelma, dengan terus menerus membaharui dan membersihkan diri di bawah bimbingan Roh Kudus[1]. Itu terutama terlaksana melalui kesaksian iman yang hidup dan dewasa, artinya telah dibina untuk mampu menangkap dengan jelas kesulitan-kesulitan yang muncul dan mengatasinya. Kesaksian iman yang gemilang itu di masa silam dan sekarang ini disampaikan oleh amat banyak saksi iman. Iman itu harus menampakkan kesuburannya dengan merasuki seluruh hidup kaum beriman, juga hidup mereka yang profan, dan dengan menggerakkan mereka untuk menegakkan keadilan dan mengamalkan cinta kasih, terutama terhadap kaum miskin. Akhirnya untuk menampilkan kehadiran Allah sangat mendukunglah kasih persaudaraan Umat beriman, yang sehati sejiwa berjuang demi iman yang bersumber pada Injil[2], serta membawakan diri sebagai tanda kesatuan.

Akan tetapi Gereja, sungguh pun sama sekali menolak ateisme, dengan tulus hati menyatakan, bahwa semua orang, beriman maupun tidak, harus menyumbangkan jasa untuk membangun dengan baik dunia ini, yang merupakan temapt kediaman mereka bersama. Tentu saja itu tidak dapat terlaksana tanpa perundingan yang tulus dan bijaksana. Maka Gereja juga menyesalkan diskrimanasi antara kaum beriman dan kaum tak beriman, yang secara tidak adil diberlakukan oleh beberapa pemimpin negara, yang tidak mengakui hak-hak asasi pribadi manusia. Adapun bagi Umat beriman Gereja sungguh-sungguh menghendaki kebebasan yang efektif, supaya mereka diizinkan juga untuk mendirikan kenisah Allah di dunia ini. Dengan tulus hati Gereja mengundang kaum ateis, untuk mempertimbangkan Injil Kristus dengan hati terbuka.

Sebab bila Gereja mengembalikan harapan kepada mereka, yang karena putus asa sudah tidak berpikir lagi tentang perbaikan mutu hidup mereka, dan dengan demikian membela martabat panggilan manusia, Gereja sungguh yakin, bahwa amanatnya menaggapi dambaan-dambaan hati manusia yang paling rahasia. Pesan itu bukannya mengurangi harkat manusia, melainkan melimpahkan terang, kehidupan dan kebebasan demi kemajuannya; dan selain itu tiada sesuatu pun yang dapat memuaskan hati manusia: “Engkau telah menciptakan kami untuk Dikau”, ya Tuhan, “dan gelisahlah hati kami, sebelum beristirahat dalam Dikau[3].

22. (Kristus Manusia Baru)

Sesungguhnya hanya dalam misteri Sabda yang menjelamalah misteri manusia benar-benar menjadi jelas. Sebab Adam, manusia pertama, menggambarkan Dia yang akan datang[4], yakni Kristus Tuhan. Kristus, Adam yang Baru, dalam perwahyuan misteri Bapa serta cinta kasih-Nya sendiri, sepenuhnya menampilkan manusia bagi manusia, dan membeberkan kepadanya penggilannya yang amat luhur. Maka tidak mengherankan pula, bahwa dalam Dia kebenaran-kebenaran yang diuraikan diatas mendapatkan sumbernya dan mencapai puncaknya.

Dialah “gambar Allah yang tidak kelihatan” (Kol 1:15)[5]. Dia pulalah manusia sempurna, yang menggembalikan kepada anak-anak Adam citra ilahi, yang telah ternodai sejak dosa pertama. Dan karena dalam Dia kodrat manusia disambut, bukannya dienyahkan[6], maka dalam diri kita pun kodrat itu diangkat mencapai martabat yang

  1. Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 8.
  2. Lih. Flp 1:27.
  3. Lih. S. AGUSTINUS, Pengakuan, I, 1: PL 32,661.
  4. Lih. Rom 5:14. – Bdk. TERTULIANUS, Tentang kebangkitan daging, 6: “Sebab apa yang diungkapkan oleh tanah liat, melambangkan manusia yang akan datang, yakni Kristus”: PL 2,802(848); CSEL, 47, hlm. 33, 12-13.
  5. Lih. 2Kor 4:4.
  6. KONSILI KONSTANTINOPEL II, kanon 7: “Allah Sabda tidak diubah menjadi kodrat daging, begitu pula daging tidak beralih menjadi kodrat Sabda”: DENZ. 219 (428). – Bdk. Juga KONSILI KONSTANTINOPEL III: “Sebab seperti daging-Nya yang manat suci, tidak bercela dan berjiwa, tidak dienyahkan karena diilahikan, melainkan tetap bertahan dalam keadaan serta caranya berbeda ...”: DENZ. 291 (556). – Bdk. KONSILI KALSEDON: “... harus diakui dalam dua kodrat secara tidak berbaur, tidak berubah, tidak terbagi, tidak terceraikan”: DENZ. 148 (302).