diriku saat berada di pantai ini. Semampu mungkin kuciptakan keramaian semu di sekitarku. Tetapi, tetap saja sepi! Sepi yang bisu tidak bisa diajak kompromi. Sepiku pendendam sejati. Jika kusakiti, pasti dia akan membalaskan bertubi-tubi kepadaku. Buntutnya, air berdesak-desakan keluar dari mataku, lalu bertambah banyak dan menenggelamkanku.
Itulah secuil penderitaan yang kualami di tanah kelahiranku ini. Banyak hal sebenarnya untuk menambal deritaku. Seperti rezeki nomplok atau cinta yang nomplok atau lebih baik sesuatu yang bisa membuatku bahagia. Salah satunya adalah gadis yang belum beranjak dari atas batu di tepi pantai itu. Dibiarkannya buih-buih air laut merajam tubuhnya. Tak diacuhkannya sang angin mempermainkan rambutnya yang indah. Aku heran, persoalan apa gerangan yang dipikirkan oleh bidadari sepertinya. Tidak pantas kepedihan meraba-raba sosoknya yang begitu mempesona. Apa yang ada di benaknya sehingga betah bertengger bagaikan kakak tua di pundak bajak laut? Apa dia ditinggalkan cinta? Atau broken home, mungkin? Atau, bisa jadi dia tidak punya uang untuk hidup? Di mana rumahnya? Mungkin sekitar sini! Dan, di mana kekasihnya? Tega sekali jika ada yang menelantarkannya. Atau, dia sudah punya suami? lalu cerai. Dan, anaknya dibawa sang suami? Ah! Tak perlu kupikirkan segala yang rumit-rumit. Aku cuma butuh gambar dirinya. Kan kuabadikan serancak mungkin. Kalau perlu kubingkai dan kujual? Ah, tidak perlu kujual. Lukisan ini tak ternilai harganya, kalau saja kujual walaupun kantongku telah gersang dimakan waktu.
***
Matahari mulai mengantuk. Langkahnya gontai meraih selimut tidur. Aku juga sudah tak tahan dengan udara di sini, mulai tak bersahabat. Angin pun bebas melantunkan lagu-lagu samudra. Tidak seperti beberapa jam yang lalu, saat dunia membatasi pengembaraan sang angin. Hingga dua baju lapisku tidak kuat lagi membendungnya. Tapi, gambar ini belum jadi. Baru seperempat perjalanan. Aku tidak mau pulang sebelum sebuah cinta dan cita kuraih.
77