tinggal di kota kecil tempat keluarga Edzer berasal, di Connacht¹. Ada lembaran baru yang gadis itu jalani penuh cinta, tetapi tak ada sisa kasih tersemai pada ibu dan putri yang terpisah. Kelahiran anak-anak mereka mungkin bisa membangkitkan harapan itu. Namun, sang Ibu bergeming.
Si gadis-kini ia seorang wanita-tak pernah bertemu
keluarganya lagi, berkirim kabar pun sesekali. Cuma selintas
lalu ia bercerita perihal keluarganya apabila anak-anaknya
bertanya. Tahun demi tahun dilewati masing-masing dengan
berusaha melupakan satu sama lain.
Sekarang keadaan sudah sedemikian berubah. Waktu amat cepat berlari, sedangkan hidup cuma roda yang berputar. Berputar...
Akulah gadis itu.
Seperti putraku sekarang, aku pun lari dari ibuku.
Lelah menata peristiwa dalam benak, malah mataku tak mau terpejam sampai fajar. Pipiku pedih seperti habis tertampar.
"Kalian semua baik-baik saja?" tanya Ibu pagi ini sehabis makan, sewaktu kami duduk di ruang tengah. Usia Ibu pastilah sudah memasuki enam puluh tahun, tetapi ia tak banyak berubah.
Aku mengangguk. Ibu melanjutkan, "Anak pertamamu? Theodoro?"
"Ah, ya. Kami memanggilnya Chico."
"Di mana dia?"
"Dia sudah beberapa hari ini menginap di rumah temannya. Aku sudah memberi tahu Ibu."
"Kau sungguh-sungguh?"
Jantungku berdetak keras. Ibu sudah tahu? Haruskah aku berbohong? Perlukah dusta? Aku sangat takut Ibu menertawai aku kalau tahu Chico kabur. Segenap keberanian kukumpulkan untuk menatap wajahnya, tetapi aku melihat warna lain di mata ibu, aneh sekali, seperti kasih sayang- Pendaran tulus, pembuat hatiku penuh sesak.
"Sofiana?" Ibu menyebut namaku.
Jauh dari sadar aku menghambur ke pelukannya, menangis tersedu-sedu. Mungkin menangisi Chico, mungkin juga meratapi sembilan belas tahun yang kuhabiskan tanpa
72