Halaman:Balerina Antologi Cerpen Remaja Sumatra Barat.pdf/76

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

belajar. Belum Iagi cemoohan beberapa tetanggaku yang selalu mengejek Oahar, terutama Si Joni, anak kurang taratik yang tinggal di belokan jalan dan selalu mengucapkan “pagi idiot..., “ saat adikku itu lewat. Saking marahnya, aku menghajar anak itu dan menghadiahkan banyak “kentang” di wajahnya.

Terlintas lagi di pikiranku saat Qahar mengadu kepada ayah karena diejek temannya. Berbeda denganku yang menanggapinya penuh emosional, ayah justru memberikan ucapan-ucapan kecil yang ternyata mampu menenangkan Qahar. Sederhana sekali, mengapa aku tak mampu melakukannya. Bunda pernah bilang, mungkin aku cemburu dengan segala kemanjaan yang diberikan seisi rumah kepada adikku itu. Benarkah?

Diam-diam di tengah perjalanan aku berharap semoga Qahar membobol pintunya, tetapi mana terpikir olehnya ke sana, ya? Atau, mungkin Mak Iyah yang melakukan hal itu, hibur hati kecilku.

“Mak...., Si Qahar sudah dikeluarkan?” tanyaku begitu berhadapan dengan Mak Iyah. Bagi keluargaku beliau sudah dianggap seperti nenek sendiri meski sesekali sikapku cenderung kurang respek, mungkin karena ego eksata-ku.

Jo apo ka dibukak? Kuncinya, kan, kamu bawa. Mak ini memang bukan keluargamu, Nak Alwi. Tapi, kamu sudah kelewatan. Mak benar-benar marah kepadamu. Sesore ini baru pulang, dari mana saja?”

Ngeceng, Mak,” aku bergegas naik ke atas. Sambil memasukkan kunci ke lobang handle, aku berharap semoga Qahar baik-baik... . Qahar lagi salat? Diam-diam aku duduk di ujung sofa, menantikan Gahar menyelesaikan tahiyat akhirnya.

“Uda baru pulang cekolah, ya?” pertanyaan itu seakan menghantam dadaku.

“Iya. Qahar lapar, ya, Qahar sudah makan? Oahar baik-baik saja, kan?”

Qahar tersenyum, bibirnya maju membentuk segitiga. Mm.. Qahal indak mau makan, Da. Qahal lagi puaca. Tadi malam Qahal udah pacang niat, kok!”

64