Halaman:Balerina Antologi Cerpen Remaja Sumatra Barat.pdf/75

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

"Biasa..., 'MP', Minang Plaza. Makan-makan, 'JJS', en ngecengin cewek kece..." usul Andi. Amin langsung memotong, "kalau makan-makan sih ana setuju, tapi kalau ngeceng... sorry, deh. Mubazir dan dosa".

"Ayolah Ustaz..., satu jam saja?" bujuk Andi. Amin tak bergeming. "Oke deh. No ngecenk...," ujar Andi lesu.

Tapi, yang satu jam itu molor jadi tiga jam. Makan-makan, ketawa-ketiwi, "mencuci tangan" di baju diskon, sampai nongkrong di tangga depan plaza, ngitungin cewek kece yang lewat. Untuk yang satu ini, aku nggak sempat ikutan karena Amin langsung menyeretku ke halte.

"Wi, liqo' minggu ini Antum hadir, ya." Aku mengangguk. "Tapi, barengan perginya, ya. Soalnya, kalau pergi sendiri aku malas."

"Katanya Antum punya adik cowok, ajak aja sekalian."

"Iya, deh. Nanti saya bicarakan sama... deg! Astagfirullah, Qahar! Kok, aku bisa lupa kalau dia masih terkunci di kamar. Buru-buru aku menyetop bus dan meninggalkan Amin yang kebingungan. Aku benar-benar kelewatan. Bagaimana kalau Qahar kelaparan, pengen buang air, atau.. kehabisan napas? Aku tak bisa membayangkan reaksi seperti apa yang diberikan Bunda apabila beliau tahu kealpaan yang kulakukan ini. Padahal, beliau sudah wanti-wanti agar aku menjaga Qahar selagi beliau dan ayah tidak ada di rumah.

"Alwi, mendapatkan anak seperti Qahar bukanlah hukuman, tetapi rahmat. Tidak semua orang ditakdirkan mendapatkan anak sepertinya, iyo, kan? Dan tidak semua orang mampu sabar dalam merawat anak seunik dia. Dari sampai akhir hayat..., hidup ini seperti gelombang, Wi. Ada gunung, ada lembahnya. Kekurangannya mungkin dari segi intelektualitas, tapi kelebihannya, wallahu a'lam."

Mataku berkaca, selaksa sesal dan kecemasan menyerangku. Selama ini aku justru berpikir kehadiran Qahar di tengah "kesempurnaan" keluargaku seperti titik noda permanen. Astagfirullah... What kind of Bro I am ? Aku justru sering berharap betapa menyenangkannya apabila tak ada Qahar, betapa indahnya apabila sehari saja aku tak melihat mulut segitiganya, atau ilernya yang meleleh, atau mendengar suara ngoroknya yang selalu menggangu konsentrasiku lahir

63