“Rogan juga tidak mengizinkan aku melanjutkan sekolah di kota,” keluh Allen pelan. Dipermainkannya ujung selimut tidurnya. Lama ia mengira-ngira apa yang sebenarnya disembunyikan kakaknya sehingga ia, adik perempuan satu-satunya, tepatnya cuma Allen yang dimilikinya, tidak diberitahu.
Sering Allen memergokinya pulang sekitar pukul dua pagi dan ia tidak berbau alkohol, seperti perkiraan Allen. Rogan pulang dengan wajah tenang, memperbaiki selimut Allen, lalu seperti orang tidur lelah di sofa. Allen jadi kehabisan kemungkinan untuk mencurigai kakaknya.
Di pojok kamar, di atas bantal besar yang empuk dan hangat, Anny dan Pruce sudah terlelap, Cahaya remang lampu minyak bergoyang-goyang ditiup angin. Allen menyibak gorden jendela. Hujan mulai reda. Deru udara kini berpadu dengan gerimis-gerimis kecil. Lagi-lagi angin seolah sedang mengetuk jendela.
“Cukup, tidak?”
“Apanya?”
“Uangnya, goblok!”
“Buat aku, sih, cukuplah. Yang kuhidupi cuma Allen. Kau Sendiri...., jadi melamar pacarmu itu?”
Galih diam saja, sementara Rogan malah gencar meledekinya.
“Sepertinya, kau memang butuh banyak uang.”
“Semua orang memang butuh banyak uang. Uang yang banyak.”
Galih menyebar beberapa carik kertas di atas meja besar. Sebuah lampu neon enam puluh watt menggantung di langit-langit. Ruangan itu cukup luas walau yang ada cuma dua pemuda itu dan seorang pria tiga puluhan yang tengah mendengar berita radio di pojok. Asap rokoknya mengepul di ruangan itu.
“Aku akan ada di P,” ujar Galih.
“Kau di Q, aku di P.”
“Baiklah! Kira-kira ada berapa banyak?”
“Sekitar dua ratus.”
27