tanah. Napasku sudah tinggal seleher. Seluruhnya tampak kabur. Datanglah malaikat maut menjemputku, memapahku. Kulihat jasadku tinggal puing-puing kayu tua. Si pria berdasi bersalam-salaman bersama pemilik tanah picik itu. Penduduk berteriak-teriak senang. Haji Amir sudah pingsan. Buldoser itu sudah berhenti menghancurkanku dan mengumpulkan sisa-sisa jasadku. Menyaksikan itu membuatku berteriak, “Dengarlah, manusia, laknatullah! Sungguh kiamat sebentar lagi!”
Dua tahun pun berlalu. Seekor burung merpati menyampaikan kabar, diskotek itu telah berdiri dengan megahnya. Taraf ekonomi penduduk pun telah meningkat. Mereka beranggapan, ini adalah surga dunia. Tapi, tidak demikian dengan Haji Amir. Allah tidak membiarkannya larut dalam
penderitaan dan kesedihan sehingga Haji Amir pun dipanggil-Nya. Wafatnya Haji Amir tidak mempengaruhi kegembiraan dunia penduduk desa itu. Mereka beranggapan, segalanya telah mereka dapatkan. Tapi, satu yang telah hilang dan tidak akan pernah mereka dapatkan, yaitu keimanan.
16