Halaman:Balerina Antologi Cerpen Remaja Sumatra Barat.pdf/18

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Agar kita tidak lagi dipandang sebelah mata. Nanti kalau tanah ini sudah dimakan, kita cari tanah yang lebih baik,” kata Paman Gindo meyakinkan Nurtihailis.

Sementara itu, awan terus menyerak air. Orang-orang makin ramai, seperti pergi menonton saluang atau randai. Tong-tong dipukul berdentang-dentang. Separuh warga Nagari Tiku-Tiku datang.

Rupanya, mereka penasaran dan ingin melihat wajah Paman Gindo kalau sudah makan tanah. Sebab, obrolan di lapau, dangau, serta surau cuma sebatas menceritakan senyum sang paman. Tidak pernah digambarkan rengek Nurtihailis atau tanah yang termakan.

Baru saja sampai di tempat tujuan, warga yang berdatangan menerima serajut teriakan.

“Hoi..., orang-orang kampung. Tanah ini enak sekali. Kalian juga punya, mari ikut santap. Selagi umur di kandung badan, kita semua pantas makan,” kata Paman Gindo dengan histeris.

“Ayo! Tunggu apa lagi. Pulang ke rumah masing-masing. Makan tanah kalian, Kehidupan ini akan berubah. Percayalah, ha ha ha,” sambungnya sambil tertawa,

Bagai terhipnotis, orang-orang berlarian dari rumah Nurtihailis. Mereka menuju ke tanah masing-masing. Kemudian ikut menjengkal, menjilati dengan liur bercampur tetes hujan. Lalu, memakan dengan nikmat dan lahap.

Sekejap, orang-orang kampung sudah ketularan virus makan tanah. Bahkan, mereka berlomba menghabiskan. Tak peduli besar ataupun luas. Strategis atau tidak. Subur atau gersang. Yang pasti, masyarakat saling mengunyah tanah.

Pemandangan sehari-hari telah menjadi tanah. Kalau dulu, berak dan kencing Paman Gindo belum mengandung tanah. Kini, orang-orang kampung berak dan kencingnya justru mengeluarkan tanah.

Virus kian menjadi. Semua sudah sama-sama makan tanah. Lalu tinggallah bangkai-bangkai yang tak dimakan tanah. Sebab, tanah sudah habis dimakan bangkai.

6