kan selalu mengatasi masalah yang menimpa secara bersama-sama. Tapi, kok kamu nggak mau cerita ke kita berdua. Apa kamu nggak percaya lagi sama kita?” Stephen merasa tersinggung.
“Kalian kok gitu sih, orang baru datang malah ditanya dengan pertanyaan yang tidak mengenakkan seperti itu. Albert itu anaknya baik, kok. Memang dulunya sih anak yang nakal dan keras kepala, tetapi selama aku jadian dengannya dia sudah berubah drastis. Nggak nakal lagi dan keras kepala.
Oke, kalau begitu, tapi jangan samapai membuat nilai-nilai hasil belajarmu turun, dong. Kalau kayak gini, sama saja bohong. Albert menjadi anak yang baik dan rajin, lalu kau menjadi anak yang pemalas,” tukas Joy marah.
“Joy, kok kamu jadi marah-marah sama aku, sih? Kalau nilai-nilai hasi! belajarku rendah itu urusanku, bukan urusanmu. Lagi pula, kenapa sih kalian berdua itu ingin tahu aja urusan orang. Aku nggak mau segala masalah yang ada pada diriku harus aku katakan pada kalian berdua, kan? Ketrin marah.
“Ketrin, kamu, kok jadi egois begitu, sih? Selama ini kalau kita ada masalah kita selalu mengatasinya bersama-sama. Tapi, sekarang kamu, kok jadi gitu, sih?” Stephen jadi risih.
Sementara itu, Ketrin pergi meninggalkan mereka berdua sambil berteriak, “Aku nggak suka kalian mencampuri urusanku.”
Joy dan Stephen duduk diam terpaku di taman sekolah. Mereka memperhatikan gerak-gerik Ketrin yang makin lama makin mengecil dan kemudian menghilang.
“Stephen, kok aneh sekali, ya, sikap Ketrin belakangan ini. Dia menjadi anak yang egois dan tidak mau mendengarkan apa-apa dari kita,” isak Joy. Lalu, Stephen merangkul sahabatnya itu.
“Joy kita harus bersabar, mungkin waktu yang akan mengembalikan kita seperti semula,” kata Stephen. Mendengar kata-kata Stephen itu, hati Joy mulai agak tenang. Lalu, Joy menghapus kedua matanya.
“Kita berdua akan selalu tetap bersama untuk menyelesaikan masalah yang menimpa kita,” lanjut Stephen.