Halaman:Balerina Antologi Cerpen Remaja Sumatra Barat.pdf/116

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

bergerak-gerak. Dengan gembira aku bermaksud memberi tahu dokter. Tapi, langkahku terhenti ketika mendengar suara Doni.

"Aku tidak sudi melaksanakan perintahmu, Raymond kunyuk. Aku tidak sudi punya orang tua seperti kau," suaranya lemah. Matanya masih tertutup. Rupanya ia bermimpi.

Aku ingin segera memberi tahu dokter. Tapi, kenapa aku hanya berdiri terpaku memandang Doni.

"Jangan kau siksa Ibu. Kalau Ibu sampai mati, kuadukan kau dan komplotanmu kepada polisi," Doni terengah-engah, keringatnya bercucuran.

Aku tak tahan lagi. Kupencet bel. Tak lama kemudian muncul dua orang perawat menenangkan Doni. Ketika dokter datang, aku keluar dengan bermacam-macam pikiran mengenai igauan Doni.

"Doni anak Raymond?" Pikirku.

"Berarti, Doni putra Ina? Tapi, kenapa Raymond ingin membunuh Doni?" Pertanyaan-pertanyaan itu baru terjawab tiga hari kemudian. Doni sudah sadar dan kata dokter ingatannya mulai kembali satu per satu.

Doni tersenyum ketika kuletakkan seikat bunga di sisinya.

"Pak saya mulai teringat masa lalu saya," ujarnya sebelum aku sempat menanyakan keadaannya.

"Aku sudah tahu," potongku.

"Oh, ya, bagaimana kalau untuk selanjutnya kau tinggal dengan bapakmu ini," dengan senyum kutunjuk dadaku.

Doni mengerutkan kening dengan heran. Tapi, sebelum dia bertanya, aku buru-buru menjelaskan.

"Doni putra Ina, kan?"

Doni mengangguk.

"Ina dulu istriku sebelum, maaf, direbut Raymond. Itu berarti, putra Ina, putraku juga kan?"

Doni tersenyum lagi. Aku ikut tersenyum. Selanjutnya, kuceritakan hal-hal yang menyenangkan pada Doni. Tapi, menjelang pulang, aku tak dapat menahan keinginanku untuk bertanya pada Doni.

"Doni, maaf, boleh aku tanya sesuatu," ujarku hati-hati. Doni mengangguk.

"Tentu saja boleh, Pak."

104