Halaman:Balerina Antologi Cerpen Remaja Sumatra Barat.pdf/111

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

"Kamu gembira tidak, mendengar hal ini?"

Kembali Doni tersenyum tipis.

"Saya tidak tahu," jawaban Doni membuatku makin terkejut.

"Saya rasa, masih ada orang lain yang berhak mendapatkannya."

"Apakah itu berarti kamu tidak merasa berhak mendapatkannya?"

Kembali Doni menggeleng, "Saya tidak tahu."

"Hm, aku tidak pernah bisa memahami cara berpikirmu, Doni," ujarku setengah mengeluh.

Doni mengangkat bahu.

"Tapi, walaupun begitu, kamu tidak keberatan, kan?" tanyaku agak khawatir.

Tentu saja tidak, Pak, Insya Allah, saya datang," Doni tersenyum. Aku juga tersenyum. Selanjutnya, pembicaraan beralih pada pameran seni lukis yang tinggal satu bulan lagi.

Tiga puluh menit kemudian, Doni minta diri. Aku menawarkan tanganku untuk mengantarkannya, tetapi Doni menolak.

"Jarak dari sini ke panti tidak terlalu jauh, kok, Pak, dalihnya.

"Tapi, kalau naik kendaraan umum, kamu akan terjebak macet," ujarku masih khawatir.

"Pak, saya Doni sudah 15 tahun."

Kutangkap ekspresi tidak senang dari suara Doni. Aku mengalah.

Hati-hati di jalan," ujarku akhirnya.

"Terima kasih. Assalamualaikum."

Ia berjalan keluar pekarangan. Aku segera mengetahui bahwa Doni tidak berniat naik kendaraan. Dia berjalan menyusuri trotoar sambil merunduk. Aku tidak dapat menerka apa yang sedang dipikirkannya.

Suara piring pecah memaksaku untuk kembali ke rumah dan melihat apa yang terjadi. Langsung kutuju dapur tempat asal suara. Di sana kulihat Bik Siti memungut pecahan piring dengan gugup. Wajahnya pucat.

"Ada apa, Bik?" tanyaku.

"Maaf, Tuan. Saya tidak sengaja," ujar terbata-bata.

99