Beberapa kali aku terjabak macet. Tentu saja hal ini membuatku tiba di panti jauh lebih lambat dari biasanya. Kubayangkan bagaimana reaksi Doni mendengar berita yang akan kusampaikan ini. Dia tentu gembira sekali.
"Doni baru saja pergi," aku tersedak mendengar ucapan Tanto, pengurus rumah tangga panti.
"Yaah, saya rasa Doni terlalu memaksakan diri. Dia selalu saja merasa bahwa dia amat sering menyusahkan kami dan kemudian ingin berbuat heboh banyak lagi untuk membalas jasa kami," Tanto berhenti bicara.
"Maaf, Dik, pertanyaan saya belum terjawab," aku menyela hati-hati.
"Oh, maaf," Tanto tersipu, merasa terlalu banyak bicara.
"Doni pergi ke Sanggar Citra. Di sana ia mengajarkan dasar-dasar melukis kepada anak-anak sanggar."
"Sejak kapan dia mengajar di sana?" tanyaku lagi.
"Dua bulan yang lalu, ketika Bapak Mardison, pimpinan sanggar, mengetahui kemampuan melukisnya dan kemudian memintanya mengajar di sana," Tanto menjelaskan.
Aku termangu. Betapa besar keinginan Doni membalas jasa para pengasuhnya. Andai semua anak muda bersikap seperti Doni, betapa damainya hidup ini.
"Hebat, memang," suara Tanto memutuskan lamunanku. Padahal, Doni sendiri tidak pernah belajar melukis secara formal. Ia hanya belajar dari melihat, melukis, dan memang bakat alaminya.
Tanto terus bercerita tentang keseharian Doni yang begitu sederhana, giat, rajin, dan tidak mudah mengeluh. Sampai saatnya aku pulang, Tanto masih terus bercerita hingga aku jadi lupa tujuanku datang ke sana.
"Saya sangat berharap dia dapat meraih cita-citanya?" ujar Tanto akhirnya, ketika aku pamit.
"Kita semua tentu berharap begitu," jawabku. Tetapi, tentu saja Tanto tidak mendengarnya karena aku hanya mengucapkannya dalam hati.
Besoknya Doni muncul di rumahku. Baru aku ingat kembali tentang tawaran bea siswa untuk Doni.
"Mas Tanto bilang, kemarin Bapak mencari saya?" Doni bertanya setelah kupersilakan minum.
97