Halaman:Aspek-aspek arkeologi Indonesia No. 7.pdf/23

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Sailendra.

Raja-raja di pedalaman karena tak lagi menikmati hasil perdagangan itu terpaksa pindah ke Jawa Timur, tetapi menetapnya mereka di sana belum berarti bahwa mereka dapat mengembangkan perdagangan dengan kepulauan di sebelah timur pulau Jawa, yang menghasilkan rempah dan cendana. Ada kemungkinan besar bahwa para pangeran di pantai utara Jawa Tengah menghalangi kapal-kapal dari Jawa Timur untuk berlayar ke pulau-pulau itu . Kapal-kapal dari Jawa Tengahlah yang masih membawa komoditi ke Sriwijaya yang mengirim perutusan-perutusan ke Cina. Karena memang sejak tahun 873 tidak ada lagi perutusan dari Jawa. (tidak lama setelah Balaputra diusir dari Jawa). Terhentinya perdagangan antara Jawa dan Cina berlangsung sampai ke tahun 992 ketika seorang pedagang Cina sampai di Cina bersama tiga orang duta Jawa dan rombongannya.

Utusan pertama sejak lebih dari satu abad rupa-rupanya jatuh pada masa ketika Raja Dhannawangsa memperlihatkan agresinya lawan Sriwijaya. Seorang duta dari Sriwijaya yang kebetulan ada di Cina tak sempat kembali ke negerinya karena diduduki oleh tentara Jawa antara tahun 990—992. Para duta dari Jawa yang tiba di Cina pada tahun 992 mengatakan kepada tuan rumahnya bahwa negara mereka dan San- fo- ts'i selalu berperang.

Hilangnya satu abad dari medan perdagangan dengan Cina mungkin disebabkan oleh monopoli para pangeran di bandar-bandar Utara Jawa Tengah yang menjadi sekutu Sriwijaya. Inilah sebabnya pecahan-pecahan keramik berasal dari masa sekitar abad ke sepuluh sampai ke abad ke 17. Seandainya seluruh perdagangan itu pindah ke Jawa Timur pada abad ke 10 bersama

pusat kekuasaan, pecahan-pecahan itu tak akan memperlihatkan kesinambungan yang demikian.

KESIMPULAN

Banyaknya pecahan keramik pada sesuatu tempat berarti bahwa ada banyak penduduk dan mungkin sudah ada pecinaan.

Tidak adanya pecahan keramik pada abad-abad sebelum dinasti Sung ( 1127 - 1278) seperti misalnya di Sumatra tidak berarti bahwa tidak ada permukiman karena orang Indonesia memakai bambu, batok kelapa, kayu, labu air dan kerang untuk alat-alat rumah tangganya. Seperti pernah dikatakan oleh orang Cina tentang P'o-ni: karena tidak ada tanah liat penduduk memasak dalam bambu dan daun palem. (Krom 1931, h. 236).

Melihat kenyataan-kenyataan di atas, teranglah bahwa pecahan-pecahan keramik sangat berguna untuk menetapkan angka tahun situs-situs permukiman, bahkan untuk menemukan hubungan-hubungan dagang dan politik.

Pemakaian keramik lokal maupun asing pada upacara-upacara berarti bahwa penduduk Indonesia menganggap benda-benda itu sebagai penolak bahaya dan dalam hal keramik asing sebagai status-symbol.

19