Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/70

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

sekaligus menjadi penghulu. Para kaum laki-laki yang hadir, baik itu para ayah, laki-laki yang belum menikah, atau laki-laki yang berstatus apapun akan mengenakan pakaian adat. Begitupun dengan mempelai pria. Begitu istimewanya mereka saat pokoro.

Berbeda dengan kami kaum perempuan. Para ibu tidak diizinkan untuk hadir pada acara pokoro, mereka berada di rumah. Para gadis tidak diizinkan memakai pakaian adat atau pakaian yang sangat bagus. Pakaian adat hanya akan dikenakan pada saat kami mengandung seorang calon bayi. Namun hanya pada bulan genap saja.

Setelah pokoro, kepala adat akan berdiri di tengah-tengah kami. Menyebutkan nama mempelai yang baru saja menjalani pokoro, membacakan doa-doa, kemudian kami pulang. Menunggu esok pagi, siapa gadis yang rumahnya didatangi seorang laki-laki yang menjadi mempelai saat pokoro kemarin, maka dialah istri dari laki-laki itu. Tidak ada kata tidak, kami harus menerimanya. Menyakitkan.

*** 

Sebentar lagi pokoro akan berlangsung, laki-laki yang berdiri di depan kepala adat itu adalah seseorang yang segera akan menjadi seorang suami. Aku menunduk, membayangkan apa yang akan terjadi seandainya dia memilihku namun tidak mencintaiku sepenuhnya. Lalu dia meninggalkanku kapanpun día mau. Sebab memang begitu adatnya, suami-suami di adat ini boleh melakukan apapun kepada perempuannya setelah mereka menikah.

Pokoro selesai, penghulu membacakan doa untuk kami. Seperti biasanya, kami segera pulang. Menunggu pagi datang. Bukan pagi yang indah jika dia bukan laki-laki yang baik.

“...semoga dia adalah yang terbaik,” begitu sepotong doa dari penghulu yang menjadi pegangan kami. Aku pun berharap demikian. Walaupun pada kenyataannya jarang

58