Halaman:Antologi Cerpen Remaja Sumatera Barat Perahu Tulis.pdf/69

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Hari ini aku berada di tempat yang sama seperti beberapa hari yang lalu, di Tabina. Jalan ke surga bagi seseorang yang akan segera menapakkan kakinya di suatu pondok pada suatu pagi. Namun Tabina juga merupakan tempat gadis-gadis berhati polos sedang meratap. Ya, meratapi takdirnya. Tabina adalah lubang neraka yang tengah menganga di hadapan gadis-gadis yang hidup diadat ini. Adat Rakta, begitu masyarakat desa ini menamainya.

Adat yang amat tidak beradab. Mungkin itu adalah satu ungkapan tepat untuk adat ini. Mungkin bukan hanya aku satu-satunya gadis yang merasakan hal ini. Aku yakin teman-temanku juga. Kami adalah para gadis yang terlahir dengan adat Rakta, dari seorang ibu dan ayah yang jelas beradat Rakta pula.

Kami juga hidup dan besar dalam tuntunan dan kasih sayang keluarga.

Namun itu tidak lama, saat usia tujuh belas tahun kami akan hidup sendiri di rumah yang telah disiapkan oleh ayah. Kami tidak diizinkan lagi untuk tinggal bersama keluarga kami. Adat seperti ini hanya berlaku untuk perempuan.

Sedangkan untuk kaum laki-laki, mereka tetap tinggal di rumah orang tuanya sampai laki-laki itu menemukan seseorang yang akan mereka nikahi. Setelah mereka. menikah untuk yang pertama kalinya, mereka akan lepas tangan dari orang tuanya. Tidak ada pertalian lagi.

Saat seorang laki-laki menemukan pasangannya, ia akan memintanya kepada kepala adat, bukan kepada ayah perempuan itu, karena kepala adatlah yang akan mengatakan kepada ayah gadis tersebut. Ayah-ayah kami tidak boleh menolak. Secepatnya diadakan upacara pernikahan, tentu saja di Tabina, dan semua gadis wajib hadir dalam keadaan apapun.

Saat upacara pernikahan berlangsung, serah terima atau ijab kabul, yang kami sebut dengan pokoro, hanya akan bisa didengar oleh mempelai laki-laki dan kepala adat yang

57