Halaman:Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat.pdf/87

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

Menjadi pengajar di perguruan tinggi (FPBS IKIP Padang, sekarang FBS$ UNP) adalah “by accident” saja. Tidak pernah menjadi cita-cita dan anehnya Harris mencintai profesi ini karena bersifat mewariskan Yang terbaik yang kita miliki kepada generasi berikutnya. Selain menulis Cerpen, Harris juga menulis puisi dan buku yang telah diterbikan, antara lain: Lagu Sederhana Merdeka (kumpulan sajak), Jakarta: Yayasan Indonesia, 1978: Bendera Kertas dan Jati (cerita anak), Jakarta: IIIemandiri, 1998: Kiat Menulis Cerpen, Bandung: Angkasa, 1999: dan Riwayat Negeri yang Haru (kumpulan cerpen Kompas terpilih 1981— 1999, 2006)

Harris Effendi Thahar tidak pernah mendapatkan pendidikan formal Sastra. Kemampuannya menulis cerpen dan jurnalistik diperolehnya secara otodidak. Dalam menulis cerpen, Harris lebih banyak berangkat dari kondisi sosial yang dialaminya. Sebagai seorang yang gemar membaca cerita pendek, Harris sangat mengidolakan Mukhtar Lubis dan Montinggo Boesye. Berawal di tahun 1971, ia mulai menulis di media cetak yang pada masa itu masih bernama Mingguan Mahasiswa (Dewan Mahasiswa) yang terbit satu kali seminggu berjumlah lima halaman. Kemudian menulis di media lain, seperti koran Aman Makmur (Singgalang) dan Pelita. Kemudian Harris mencoba menulis ke majalah sastra Horison sekitar tahun 1981. Ia resmi menjadi wartawan tahun 1986 di Singgalang selams 2 tahun. Selanjutnya di mingguan Canang Selama 17 tahun (1986—2003).

Sebagai orang tua, Harris menyerahkan tanggung jawab kepada anak-anaknya untuk memilih jalannya sendiri-sendiri. Satu hal yang Sangat diperhatikan oleh Harris selama ini dari anak-anaknya adalah Penguasaan bahasa Indonesia mereka, baik secara lisan maupun tulisan. Itu terbukti apabila Harris membaca karya akhir mereka, baik karya ilmiah, skripsi, atau tampil di forum-forum. Mereka terampil berbicara dan dengan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mereka bertiga (M. Isa Gautama S. Pd, M. Si., Siti Ine Kemala, SPL, dan Bayu Ning Larasati, S.Sos.) merupakan aktivis di sekolahnya dan wawasan mereka sangat berbeda dengan anak-anak seangkatannya. Keberhasilan itu tidak terlepas dari faktor orang tua yang selalu mengajarkan dan menyediakan buku bacaan yang bermutu bagi mereka. Dari ketiga anakya, hanya satu yang mengikuti jejaknya sebagai penulis, yaitu anak pertamanya M. Isa Gautama. Ia telah mempublikasikan tulisannya, baik di Media nasional ataupun daerah.


75