Jumat, 12 Maret 1954
Kami menuju Tanjung Karang. Dari Bandingagung kami berangkat jam 8.30 dengan bus ke Martapura. Dari sini kami naik kereta api dan tiba di Tanjung Karang jam 19.15.
Sabtu, 13 Maret 1954
Pagi hari kami berhubungan dengan pejabat-pejabat pamong praja di Telukbetung. Sdr. Residen tidak ada, sedang keluar. Kami pergi ke Pak Bupati dahulu. Beliau menunjukkan perhatiannya terhadap pekerjaan kami dan bersedia memberikan instruksinya kepada Camat Talangpadang yang akan kami tuju. Dari Pak Bupati kami pergi ke Pak Residen lagi, tetapi beliau belum juga kembali. Kami diterima oleh sekretarisnya, Pak Effendi. Beliaupun sangat antusias tampaknya, dan bersedia mencarikan keterangan-keterangan kepada bupati-bupati bawahannya tentang peninggalan-peninggalan kuno yang ada di daerahnya masing-masing. Oleh beliau kami ditunjukkan ke sebuah batu tidak jauh dari situ yang disebut "Batu Gajah". Setelah kami lihat timbullah kesan bahwa bukan "megalith", tetapi batu biasa saja.
Kemudian kira-kira jam 12.30 kami berangkat dengan bus ke Talangpadang, di mana kami tiba kira-kira jam 15.00. Sdr. Camat Talangpadang telah siap untuk meminjamkan Jeep B.R.N. untuk keperluan kami keesokan harinya.
Minggu, 14 Maret 1954
Jam. 8.30 kami berangkat menuju ke batu bertulis di Batu Bedil. Jeep hanya sampai di Pulau Panggung, dari sini kami masih berjalan kaki kurang lebih satu jam, dengan diantar oleh Sdr. Camat B.R.N. Jalanannya sedang dikerjakan. Jembatan di atas sungai yang harus kami lintasi belum jadi, sehingga kami harus meniti jembatan yang berupa sebatang kayu besar yang roboh melintang di sungai itu. Bagi orang yang mempunyai hoogteuress tentu perjalanan itu tidak mudah.
Batu bertulis itu terletak tidak jauh dari jalan, dan sudah rubuh. Tingginya (panjang) 1.85 m, lebarnya 0.72 m, dan tebalnya 0.55 m, bertulisan 10 baris dengan huruf yang besar-besar (4,5 a 5cm). Di bagian tengah, tulisannya telah rusak, di bawah terdapat lukisan berupa padma. Prasasti tertulis dalam bahasa Sansekerta. Kami berhasil membaca beberapa baris dari pertulisan yang mulai dengan:
- Namo bhagawate
- Aparimitya –
- -- wini ( ) ita –
dsb. Prasasti itu akan diuraikan lebih lanjut dalam lampiran tersendiri.
Kami dapat juga membuat abklatskh dari batu tersebut. Dalam menunggu keringnya abklatskh itu kami agak merasa lapar juga, karena sudah pukul 15.00. belum juga mau kering. Orang jualan tidak ada. Kami pun iseng-iseng mencari tomat hutan yang banyak tumbuh di sekitar tempat batu itu, sekedar penghilangkan kesal dan lapar. Jam 16.00 baru abklatskh dapat kami ambil. Perjalanan pulang melalui titian batang kayu rupa-rupanya lebih sukar, karena kaki telah lelah. Sayang sekali kami tidak membawa persediaan film untuk dapat menunjukkan betapa sukarnya meniti jembatan kayu itu.
Lain daripada batu bertulis itu di tempat tersebut masih terdapat "batu lesung" yang sudah tersembunyi sama sekali dalam semak-semak sehingga untuk melihatnya kami harus menebang semak-semak itu dahulu.
Juga terdapat apa yang dinamakan "batu bedil" dari mana dusun di situ mengambil namanya. Apa sebenarnya batu bedil itu tidak dapat kami menentukannya.
Sore itu juga jam 18.00 kami masih dapat kembali ke Tanjung Karang.
Senin, 15 Maret 1954
Pagi kami menemui-lagi Pak Effendi. Beliau memberikan keterangan-keterangan tentang peninggalan-peninggalan yang di antaranya bahwa di Wai Teneng, 95 km dari Kotabumi ada batu bertulis seperti yang telah kami dengar dari Pak Nasir di Liwa. Jalan itu hanya sebagian (65 km) dapat dijalani dengan oto, yang 30 km harus ditempuh berjalan kaki, sehingga makan waktu kira-kira satu hari. Terpaksa kami tidak dapat melihat batu tersebut.
Sore jam 21.00 waktu S.S. kami bertolak meninggalkan Pulau Sumatra dengan kapal menuju Merak.
Selasa, 16 Maret 1954
Pagi-pagi kira-kira jam 6.00 kurang sedikit kapal kami sampai di Merak. Kereta api yang akan membawa kami ke Jakarta telah siap akan berangkat dan pada jam 11.30 kami tiba kembali di Jakarta dengan selamat.
35