Halaman:Amerta - Berkala Arkeologi 3.pdf/29

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

50 m di depan mobil kami "Datuk Belang", yang sudah beberapa hari ingin sekali kami jumpai, dengan acuh tak acuh melintasi jalan! Hanya beberapa orang dari kami yang duduk di belakang tidak melihatnya. Supir seketika menginjak pedal gas lebih dalam, dan dengan kecepatan 80 km. Kami lalui tempat yang "seram" itu.

Hampir pk. 7 kami tiba di Hotel Mataram. Malamnya Sdr. Nohan mengunjungi kami, dan mendongengkan keganasan harimau di daerah Muara Tebo sampai pk. 11.30.

Sabtu, 13 Maret 1954

Dengan rasa puas telah dapat menyelesaikan tugas yang terpenting di Keresidenan Jambi, ialah Karang Brahi, kami hari inidapat pulang ke Jambi. Kami berangkat agak siang, karena jarak yang akan ditempuh tak seberapa (kl. 210 km). Karena lama sekali menunggu di pelayangan dan accu ternyata tidak mengisi sehingga perlu diperbaiki, maka kami tiba di Muara Tembesi sudah pk. 12.30. Di sini kami makan, dan mobil dibongkar untuk diperbaiki.

Kira-kira pk. 4 kami berangkat dari Muara Tembesi dan pk. 5.30 kami sampai di rumah Wali Kota Jambi.

Minggu, 14 Maret 1954

Pagi-pagi kami ke kantor GIA mengurus tempat untuk besok siang pk. 3. Kemudian kami menyeberangi Batang Hari menuju Ulak Kemang, di mana kami menjumpai kepala kampungnya, Sdr Zainal Abidin, yang kami telah kenal sewaktu pergi ke Rantau Majo. Kami diantar ke bekas Istana Sultan Jambi yang terakhir, Wirokusumo Al Djuffri. Dari istana ini tak banyak lagi yang penting dilihat. Hanya di kanan kirinya ada gapura kecil yang menarik perhatian, karena lengkungnya yang mengingatkan kepada lengkung kala-makara. Kalanya sangat distilir, sedangkan makaranya menjadi ikan yang ekornya menjadi ujung lengkung. Adapun langgamnya sangat mendekati langgam Tiongkok atau Hindia Belakang. Anehnya ialah bahwa skulptur-skulptur itu dari luar nampaknya dibuat dari padas, sedangkan pada salah satu ikan yang sudah lepas nampak jelas bahwa

Pintu Gerbang Istana Sultan Jambi.

24