Lompat ke isi

Halaman:Amerta - Berkala Arkeologi 2.pdf/31

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Kabayin dan seorang lain yang bernama pu Anyawarin membuat sebuah tempat kediaman untuk para dewa di bawah satu atap. Lapik lain bertulisan beberapa kalimat, yang mengandung sebuah candrasengkala, yaitu angka tahun yang di tulis sebagai kata-kata, yang masing-masing mempunyai nilai angka. Candrasengkala itu diterangkan sebagai angka tahun 1157 Caka = 1235 M oleh Dr. Goris. Dalam pertulisan itu dikatakan juga bahwa ada sebuah "byara" untuk seorang "Paduka Çri Maharaja". Tetapi sayang sekali nama raja itu tidak disebut.

Apakah hasil yang diperoleh para sarjana dari penyelidikan mereka atas pertulisan-pertulisan itu? Pertama angka-angka tahun yang telah kami sebut tadi, itu 1179M, 1235M, satu pertulisan dari abad ke 13 dan satu dari pertengahan abad ke-14. Kedua: suatu hasil yang negatif, yaitu bahwa nama-nama para raja pembina biaro-biaro itu tidak disebut. Hasil yang ketiga yang diperoleh dari penyelidikan itu ialah bahwa kini orang dapat mengetahui agama apa yang dianut para raja itu. Pengetahuan tentang agama itu dapat disimpulkan juga dari anasir-anasir lain, yaitu, arca-arca dan bentuk bangunan-bangunan. Soal itu akan kami bicarakan sekarang.

Agama

Bangunan bangunan kuno di Padang Lawas hampir semuanya terdiri dari biaro-biaro dan stupa-stupa yang berhubungan dengan agama Buda. Beberapa pertulisan dan beberapa arca membuktikan bahwa agama yang dianut di Padang Lawas adalah "Wajrayana", yaitu suatu aliran dari agama Buda yang mempunyai sifat-sifat keraksasaan. Aliran Wajrayana itu di Pulau Jawa dianut oleh Raja Krtanagara dari Singasari yang wafat dalam tahun 1292 M, dan di Pulau Andalas oleh Raja Adityawarman dari Melayu, yang hidup dalam pertengahan abad ke-14, dan di luar Nusantara di Bengala, Nepal, Tiongkok, dan Tibet.

Agama Buda yang asli seperti Hinayana dan Mahayana mempunyai sifat yang damai. Penganut-penganutnya tidak boleh membunuh makhluk lain, sekalipun binatang kecil seperti lalat. Dalam Hinayana orang dapat mencapai Nirmana, yaitu suatu keadaan bahagia yang berarti kebebasan dari kesengsaraan dan penjelmaan berkali-kali yang ditimbulkan oleh nafsu dan keinginan duniawi, yaitu sesudah orang itu meninggal. Dalam Hinayana itu para penganut masing-masing berusaha sendiri untuk mencapai pari nirwana itu. Sebaliknya dalam aliran Mahayana, seorang penganut harus berusaha agar menjadi seorang Bodhisattwa dalam inkarnasi (penjelmaan) yang lain, sehingga ia dapat membawa damai, yaitu agama Buda, kepada makhluk yang lain. Jadi kesempurnaan batin yang disebut pari nirwana itu mereka capai baru setelah berbuat dan berkelakuan dengan baik selama beberapa penjelmaan yang berikut-ikut. Dalam aliran Wajrayana yang termasuk aliran Mahayana, terdapat suatu pikiran yang penting, yaitu bahwa seorang penganut dapat mencapai kelepasan (moksa) itu dengan sekaligus dalam hidup ini juga, yaitu dengan memakai sihir, dengan bersemedi (yoga), dan memakai sihir, dengan bersemedi (yoga), dan mengucap-ucap rapal-rapal yang disebut mantra. Upacara yang terpenting dalam aliran itu adalah upacara Bhairawa, yang dilakukan di atas ksetra, yaitu sebuah halaman kuburan, tempat jenazah-jenazah dikumpulkan sebelum dibakar. Tempat itu tentu saja menjadi tempat yang sangat menarik untuk hantu, setan, burung hantu, dan makhluk-makhluk lain yang dapat menambah suasana yang mengerikan. Di tempat itu para penganut melakukan upacara-upacara yang rahasia. Tetapi dalam beberapa buku dapat diuraikan juga apakah yang dilakukan di situ, yaitu: bersemedi, menari-nari, mengucapkan manta-mantra, membakar jenazah, minum darah, tertawa-tawa, mengeluarkan bunyi seperti banteng. Beberapa raja melakukan upacara demikian juga, yaitu Raja Krtanagara dari Singasari, Raja Adityawarman dari Melayu, dan Raja Kubilai Khan dari Tiongkok, musuh Raja Krtanagara. Hal itu terbukti dari beberapa pertulisan dari Raja Krtanagara dan Adityawarman dan dari sebuah buku Tionghoa.

Seperti dikatakan di atas, beberapa tindakan yang dilakukan di ksetra itu ialah menari-nari dan tertawa-tawa, dan meniru banteng. Dalam pertulisan dari Tandihet, yang telah dibicarakan tadi, ternyata sifat kewajrayanaannya, karena beberapa kali bunyi tertawa itu ditulis :

"Wan wa wanwanagi
bukangrhugr
hucitrasamasyasa-
tunhahahaha
hum
huhuhehai
hohauhaha
omahhum"

26