Halaman:Amerta - Berkala Arkeologi 1.pdf/51

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi
29. Bejana di Pejeng.

Datanglah untuk sekian kalinya pertolongan Brahma muncul di tengah mereka. Dengan cepat dan tenang ia menyanggupkan kembalinya amerta. Ia menjelma menjadi seorang bidadari yang sangat luar biasa cantiknya dan terbanglah ia pergi menemui para daitya. Dengan tari-tarian dan nyanyian berhasillah ia menipu para daitya. Dalam kemabukkan asmara dan rindu daitya-daitya itu lupa akan amerta, dan saat itulah dipergunakan oleh bidadari palsu itu untuk menyambar guci yang sangat berharga itu. Dibawanya guci tadi terbang pergi. Sesaat kemudian barulah para daitya menginsafi tipu muslihat yang telah mereka alami, tetapi sudah terlambat.

Sesampai kembali di kayangan guci amerta diserahkan kepada para dewa. Lekas-lekas para dewa itu berganti-ganti meminum air penghidupan, dan semenjak ketika itu mereka luput dari segala penyakit dan maut. Sedang mereka mengecap kenikmatan yang tak terhingga itu, tiba-tiba sang bulan berteriak-teriak memberitahukan bahwa di antara para dewa itu ada seorang daitya pula. Ternyata daitya ini sedang menempelkan mulut guci amerta itu kepada bibirnya. Segera Batara Wisnu mengangkat cakranya, dan dengan satu gerak terpenggallah kepala daitya tadi, terpisah dari badannya. Rahu, demikian nama daitya yang sial itu, ternyata sudah berhasil memasukkan seteguk amerta ke dalam kerongkongannya. Oleh karena itu kepalanya tak dapat mati. Maka sangatlah marah Rahu itu kepada bulan. Sejak dari itu ia selalu mengintai-intai musuhnya ialah

45