Halaman:Amerta - Berkala Arkeologi 1.pdf/50

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Karena pergeseran yang terus menerus, Gunung Mandara menjadi panas dan air laut mendidihlah. Api keluar menyala-nyala dari gunung itu, menjulang ke langit, membakar segala tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang yang masih bertahan di gunung itu, asap bergumpal-gumpal membubung ke angkasa. Seluruh dunia menjadi gelap gulita. Pekerjaan memutar menjadi susah. Keluh kesah mulai terdengar dari para dewa dan daitya, kelelahan sudah mendekati putus asa ....

Datanglah Batara Indra. Dikumpulkannya semua awan, dilemparkanlah wajranya. Halilintar menyambar-nyambar memecahkan awan, guntur bergemuruh memenuhi angkasa, awan menjadi air, hujan turun dengan lebatnya. Air hujan yang menyejukkan dan menyegarkan itu tidaklah sia-sia. Para pekerja seakan-akan hidup kembali. Dengan semangat baru mereka melanjutkan pekerjaan yang maha dahsyat itu.

Air laut berubah menjadi keruh, lama-kelamaan menjadi seperti susu kental, akhirnya menjadi seperti dadih. Tetapi amerta belum juga keluar. Para dewa dan daitya bekerja terus, terus saja ... tetapi harapan akan pahala pekerjaan mereka itu semakin tipis. Masih jauh betul nampaknya hasil kerja itu! Maka satu demi satu mereka terpaksa meletakkan pekerjaan, lemah lunglai, habis tenaga, putus harapan. Akhirnya mereka bersama menghadap kepada Brahman, mengatakan tak sanggup dan tak kuasa lagi melanjutkan pekerjaan yang luar biasa itu.

"Hai, dewa dan daitya" kata Brahman, "janganlah terlalu lekas putus asa. Kuberi kepadamu sekalian tenaga secukupnya. Rendamlah Gunung Mandara di dalam laut dan putarlah sekali lagi. Memang amerta bukanlah sesuatu yang tinggal memungut saja. Tetapi percayalah amerta akan keluar juga. Pergilah sekarang lanjutkan pekerjaanmu!

Dengan semangat dan tenaga baru dilanjutkanlah sekarang pekerjaan mengacau laut itu. Selang beberapa lama timbullah dari dalam laut bulan purnama yang kuning keemas-emasan, berseri-seri menerangi dunia yang gelap gulita itu dengan sinarnya yang halus dan lembut. Sorak sorai menggegap di udara, tanda kegirangan dari mereka yang sedang bekerja kera. Hasil pertama sudah nampak, dan semakin giatlah mereka bekerja. Maka kemudian berturut-turut membubunglah ke atas: Sura, dewi anggur, penggembira kayangan; Laksmi, dewi kebahagiaan, yang diambil isteri oleh dewa Wisnu; Utjaihsrawas, kuda sembrani putih, yang menjadi kendaraan raja dewa; Kaustubha, manikan yang bercahaya-cahaya yang dapat menerangi seluruh alam, menjadi penghias dada Brahman sendiri; pohon Parijata, ialah pohon langit yang berbuah segala kekayaan, kebahagiaan serta kehidupan di seluruh dunia; dan beberapa barang lainnya yang sangat dibutuhkan untuk mengekalkan kekuasaan para dewa dalam melakukan kewajibannya melangsungkan hidupnya segala apa yang ada serta mengaturnya.

Paling akhir keluarlah dewa Dhanwantari, ialah tabib kayangan, dari dalam laut. Di tangannya ia membawa guci yang berisi amerta. Dan inilah yang sangat dinanti-nantikan, baik oleh para dewa maupun oleh para daitya. Karena semua yang telah keluar lebih dahulu telah diambil oleh para dewa, maka sekarang para daitya mengatakan bahwa yang akhir itu, amerta, adalah menjadi hak mereka. Sebaliknya maksud para dewa yang terutama ialah untuk mendapatkan amerta itu! Demikianlah maka timbul perselisihan yang hebat.

Di tengah keributan itu sekonyong-konyong keluarlah dari segala bagian Gunung Mandara hala-hala, yaitu bisa (racun) yang sangat berbahaya. Bisa itu makin lama makin banyaklah mengalir, sehingga dunia seluruhnya terancam bahaya akan musnah sama sekali olehnya. Para dewa dan daitya ternyata tak dapat berbuat sesuatu pun, mereka sendiri tak tahan baunya, mereka menjadi mabuk dan lari tunggang-langgang ..

Datanglah Batara Siwa. Dengan kesaktiannya diminumlah bisa itu seluruhnya. Dengan demikian lenyaplah pula marabahaya yang menggemparkan itu. Bisa itu ternyata tak berdaya apa-apa terhadap Dewa Siwa, tetapi terbakar juga agaknya tenggorokan Siwa itu. Sejak itu lehernya berubah warna menjadi biru, maka karena itu ia mendapat julukan Nilakantha, artinya yang berleher biru.

Sementara itu amerta telah jatuh ke tangan para daitya. Ketika para dewa menginsafi akan hal itu, timbullah kekalutan di kalangan mereka. Mereka ketahui benar apa artinya kehilangan amerta itu dan apa akibatnya nanti untuk dunia seluruhnya! Bukan saja jerih payah mereka akan sia-sia belaka, tetapi amerta di tangan para daitya berarti pula musnahnya para dewa! Perundingan yang segera mereka lakukan dengan tergesa-gesa tak dapat menghasilkan sesuatu apa. Tak seorang pun dapat tahu akal bagaimana mendapat amerta itu kembali dari tangan para daitya. Sedih bercampur bingung dan rasa putus asa terbaca di dalam mata masing-masing.

44