baru timbul di atas permukaan laut pada zaman terakhir dari masa Tertiair) sehingga tak mungkinlah bahwa binatang-binatang dan manusia-manusia itu terjadinya di sini. Mereka harus datang kemari dari benua Asia. Berenang tak dapatlah binatang-binatang menyusui itu. Tetapi selama zaman es air laut sangat menjadi kurang dan sebagai akibatnya permukaan laut turun banyak, lebih dari 100 m. Laut yang dangkal seperti laut Jawa menjadi kering dan menjadi tanah. Terjadilah yang disebut titian tanah yang menghubungkan pulau-pulau Sunda Besar dengan daratan Asia melalui Semenanjung Malaka. Melewati titian itu datanglah binatang-binatang menyusui yang besar dan mendiami kepulauan kita. Perhubungan itu terjadi berulang-ulang, tetapi setiap kali terputus lagi jika permukaan laut naik kembali. Selama zaman-zaman es, luasnya tanah Indonesia sangat lebih besar daripada sekarang. Ketika itu Laut Jawa menjadi tanah juga, dilalui sebuah sungai yang besar sekali, lebih besar daripada Sungai Mississippi. Bengawan ini membawa pula air dari kali-kali di Kalimantan Barat dan bagian Timur Sumatera, dan akhirnya bermuara di Laut Tiongkok Selatan.
Semua binatang menyusui dan manusia-manusia tertua itu sudah lama sekali habis mati. Tetapi mereka digantikan oleh manusia-manusia dan binatang-binatang lain.
Orang-orang kemudian hampir bersamaan waktu datang mendiami Indonesia semuanya termasuk jenis Homo sapiens (jenis yang meliputi seluruh umat manusia yang hidup sekarang). Yang masuk ke kepulauan ini dengan melalui Malaka dan Filipina adalah suku-suku bangsa Australo-Melanosoide, Wedda, dan Negrito. Pun orang-orang ini masih rendah tingkat hidupnya sebagai pemburu dan pengumpul bahan makanan, tetapi mula-mula mereka mempunyai corak kebudayaan masing-masing yang berbeda-beda. Pada waktu itu, kira-kira enam ratus ribu tahun yang lalu, sudah ada kecondongan ke arah tinggal menetap untuk waktu yang lama, misalnya di tepi-tepi pantai, yang kaya akan kerang-kerang dan menjamin adanya makanan, terutama untuk waktu yang lama. Maka orang-orang itu hidup sebagai setengah pengembara. Mereka tinggal berkelompok dari 40 sampai lebih dari 100 orang. Pembagian kerja sudah ada terutama didasarkan atas perbedaan kelamin.
Bentuk kebudayaan yang pertama terutama mengenal sebagai alat-alatnya batu-batu kali yang dikerjakan sebelah sisi saja secara kasar dan biasanya berbentuk lonjong. Dengan alat-alat itu dipancunglah kerang-kerang itu dari batu karangnya. Setelah dimakan isinya, kulit kerang itu dilempar-lempar begitu saja, sehingga akhirnya bertimbun sampai bermeter-meter tingginya. Dalam timbunan kerang itu kelak ditanam pula mayat-mayat penduduk situ. Mayat-mayat itu telah dirawat baik-baik. Kadang-kadang di kubur dengan dilipat lututnya, ada kalanya yang mati itu diberi bawaan di kuburannya berupa kulit-kulit kerang yang berlobang. Ada lagi yang rangkanya ditebari sejenis cat merah. Kecuali di pinggir-pinggir pantai, orang-orang waktu itu mendiami pula gua-gua. Kebudayaan ini datang di Indonesia harus melalui Malaka. Sebab bekas-bekasnya yang terutama banyak didapatkan di Sumatra Timur Laut dapat diturut terus sampai di Tonkin. Pendukung kebudayaan ini adalah orang-orang yang berkepala panjang, bergigi besar, dan dengan corak-corak jenis Australo-Melanosoide.
Adapun bentuk kebudayaan yang kedua jauh lebih beragam lagi dan mengenal jauh lebih banyak alat-alat. Alat-alat kecil yang berupa seperti pecahan-pecahan hasil dipukul-pukulinya batu teras menurut cara yang tertentu dan yang selanjutnya dikerjakan lagi dengan teliti menjadi pisau, alat pengeruk, alat penggores, ujung lembing, ujung panah, gurdi, pengait, ada yang dari batu ada yang dari tulang. Sebagian daripadanya bersifat kebudayaan microlithikum. Kebanyakan didapatkannya di dalam gua-gua di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi, tetapi juga di sekeliling danau-danau seperti di dataran tinggi Bandung, dan dekat Kerinci. Jenis batu yang dipergunakan sering- kali sangat indah dan praktis untuk maksudnya. Paling disukai ialah chalcedon dan obsidian. Pendek kata yang menjadi bahan ialah jenis batu yang mudah dibelah tetapi cukup kerasnya. Alat-alat batu kecil itu seringkali menjadi bagian dari alat-alat guna berburu dan menangkap ikan.
Rangka-rangka manusia dari kebudayaan ini tak kita kenal oleh karena mayat-mayatnya tidak di tanam di dalam gua melainkan di atas pohon. Setelah beberapa lama, maka tulang-tulang itu dikumpulkan lagi untuk dibagikan kepada para ahliwarisnya sebagai tanda peringatan. Dibawanya tulang belulang itu ke mana-mana, seringkali bertahun-tahun, agar selalu ingat kepada yang telah mati. Yang ditemukan kembali dari penggalian hanyalah sebagian kecil saja. Terutama tulang--
20