Halaman ini telah diuji baca
- SENJA DI PELABUHAN KECIL
- buat Sri Ajati
- Ini kali tidak ada yang mencari cinta
- di antara gudang, rumah tua, pada cerita
- tiang serta temali. Kapal, perahu, tiada berlaut
- menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.
- Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
- menyinggung muram, desir hari lari berenang
- menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
- dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
- Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
- menyisir semenanjung, masih pengap harap
- sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
- dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.
<td style="text-align: center; padding:0.3em; border: solid 1px #a3b1bf; font-size: 110%; background-color:
- CEE0F2; width: Kesalahan ekspresi: Karakter tanda baca "[" tidak dikenal.%;">[[{{{link}}}|{{{tab}}}]]Sajak di atas sepintas-lalu tampak seperti kuatrin konvensional dengan tiga bait berima a-a-b-b—c-c-d-d—e-f-e-f. Namun ternyata tidak. Dalam syair, misalnya, setiap larik adalah sebuah kalimat sempurna dengan empat-lima kata, sebuah unit ujaran atau perian yang lengkap. Dalam sajak Chairil tersebut, setiap larik adalah kalimat atau frase yang tak lengkap, menggantung, yang hanya secara “tanggung” berusaha menyambung dengan kalimat atau frase sesudahnya. Terdapat celah bisu-sunyi antar-frase, antarkalimat, atau antar-larik. Tidak jelas, misalnya, apakah frase “tidak bergerak” pada pada ujung baris ketiga bait kedua dan “tiada lagi” pada awal bait ketiga mesti tersambung kepada frase sebelum ataukah sesudahnya. Chairil seakan membiarkan baris-barisnya mengerut dan memuai sendiri. “Cacat” semacam ini justru memunculkan tenaga kata dan kombinasi antar-kata. Perhatian kita akan terpusat pada bagaimana ia menghidupkan benda mati (misalnya “tanah dan air tidur”) atau mengkongkretkan yang abstrak (“desir hari lari berenang”). Tetapi perhatian kita mungkin juga bukan terpusat, melainkan bertebaran pada banyak gabungan kata yang mendebarkan, yang tak kunjung terpahami. Apa itu “pantai keempat” (kenapa tak ada pantai-pantai sebelumnya), dan apa pula “bujuk pangkal akanan” (apakah ini lambaian cakrawala, yang selalu menjauh bila dihampiri)?
xvi